KOMPAS.com - Belasan anak dari Kabupaten Intan Jaya, Papua, untuk pertama kalinya merayakan Natal jauh dari keluarga, ratusan kilometer dari tanah kelahiran mereka.
Awal Desember lalu mereka tiba di Jayapura untuk memulai babak baru kehidupan di Panti Asuhan Kerahiman Putri.
Di bawah bimbingan biarawati, anak-anak itu diharapkan dapat menjejaki pendidikan formal dan mempelajari nilai-nilai baik kehidupan, jauh dari konflik bersenjata yang terjadi di kampung mereka.
Beberapa hari sebelumnya mereka terbang dari kampung mereka di kawasan Pegunungan Tengah menuju Kabupaten Nabire. Itu adalah pengalaman pertama anak-anak tersebut keluar dari tempat kelahiran mereka.
Baca juga: Penumpang KA di Stasiun Gambir dan Pasar Senen Terpantau Tertib Saat Libut Natal dan Tahun Baru
Dari Nabire, mereka menumpang Kapal Gunung Dempo untuk melintasi Teluk Cenderawasih selama 24 jam. Tujuan mereka adalah ibu kota Papua, Jayapura.
Anak-anak itu membawa perbekalan secukupnya dalam tas punggung mereka. Sebagian dari mereka memasukkan barang bawaan dalam kardus bekas.
Mereka bersendal jepit, bercelana pendek, dan memakai kaos sederhana.
Begitu turun dari kapal, mereka melempar pandangan ke berbagai penjuru pelabuhan. Wajah mereka menunjukkan rasa takjub, heran, tapi juga cemas. Orang-orang berlalu lalang melewati mereka. Pelabuhan begitu hiruk pikuk.
Baca juga: Ridwan Kamil Pastikan Pelaksanaan Misa Natal di Jabar Aman dan Lancar
Dia memegang tangan beberapa anak itu, memperkenalkan dirinya. Lalu dia buru-buru menyeka matanya. Alexia terlihat emosional.
"Aman. Aman," ujarnya kepada anak-anak tersebut.
Alexia kemudian mengajak mereka meninggalkan pelabuhan. Dia berjalan paling depan. Selama beberapa tahun ke depan, dia akan menjadi mama, bapak, sekaligus guru bagi anak-anak Intan Jaya itu.
Baca juga: Polisi Tak Berlakukan Penyekatan di Wilayah Perbatasan Kota Tasikmalaya Saat Ibadah Natal
Panti asuhan yang dipimpin Suster Alexia didirikan tahun 1992. Penggagasnya adalah rohaniawan Katolik asal Belanda, Pastor Nico Diester OFM dan biarawati kelahiran Belgia, Suster Maricen DSY.
Keduanya mendedikasikan panti asuhan itu untuk menampung anak-anak yang kehilangan orang tua, anak terlantar, anak korban kekerasan dalam rumah tangga, dan anak-anak dari pedalaman Papua.
Selama hampir 30 tahun terakhir, panti asuhan itu sudah merawat dan mengantar lebih dari 700 anak ke jenjang pendidikan formal.
Baca juga: Banyak Jemaat Ikut Misa Natal, Katedral Ambon Sediakan Tenda di Depan Gereja
Perasaan itulah yang berkecamuk dalam hatinya saat pertama kali menjemput anak-anak dari Intan Jaya.
"Mereka seharusnya berada di tempat yang nyaman, punya orang tua sehingga menjadi anak yang sukses di masa depan. Tapi saya melihat mereka justru seperti terlepas dari induknya," kata Alexia.
"Saya berpikir, seandainya saya seperti mereka, saya akan menjadi seperti apa.
"Orang tua saya meninggal waktu saya sudah berumur. Tapi mau bilang apa, kami harus tolong dengan hati, supaya mereka juga seperti anak-anak Indonesia yang lain," ujarnya.
Baca juga: Jadi Destinasi Libur Natal dan Tahun Baru, Ini 4 Titik Rawan Macet di Jalur Puncak
Keberangkatan 15 anak ini ke Panti Asuhan Putri Kerahiman diinisiasi pastor muda bernama Yeskiel Belau, asal Kampung Baitapa, Intan Jaya. Yeskiel baru saja ditahbiskan menjadi imam Katolik, September lalu.
Yeskiel berkata, tanggung jawab sebagai rohaniawan dan nilai-nilai agama yang dia yakini mendorongnya "menolong anak-anak itu".
Menurutnya, kecemasan dan kedukaan umat semestinya perasaan yang juga dirasakan pimpinan gereja.
Mencari jalan keluar atas persoalan umat, kata Yeskiel, merupakan tugas yang perlu diemban rohaniawan sepertinya.
Baca juga: Gema Kidung Natal Berbahasa Madura di Gereja Sumberpakem Jember
Anak-anak Intan Jaya disebut Yeskiel mustahil mendapatkan hak atas masa depan yang cerah dalam situasi yang serba tidak menentu seperti itu.
"Banyak orang tua di sana sangat ingin agar anak-anak mereka sekolah. Mereka sangat antusias, tetapi semuanya bekerja sebagai petani dan tidak mempunyai biaya," ujar Yeskiel.
Namun pergulatan 15 anak Intan Jaya itu tidak berakhir setelah mereka menjalani hari baru di panti asuhan.
Baca juga: Pesta Kembang Api dan Petasan Warnai Natal di Kota Ambon
Hanya sedikit dari mereka yang bisa berbahasa Indonesia.