KOMPAS.com - Orang-orang Mentawai sesungguhnya bisa saja bertahan hidup dengan berburu dan berladang.
Namun demi masa depan lebih baik, anak-anak muda suku Mentawai dikirim bersekolah di kota - dan semua ini butuh uang, sesuatu yang susah mereka dapatkan saat pandemi tak kunjung usai.
Enam tengkorak simakobu - satu dari empat jenis primata endemik di Kepulauan Mentawai - tergantung di langit-langit uma, sebutan bagi rumah adat orang Mentawai di Dusun Batui, Siberut Selatan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gempa Mentawai M 7,7 dan Tsunami, Ratusan Orang Tewas
Tengkorak-tengkorak itu berwarna putih, menandakan keberadaannya di langit-langit itu masih baru. Tergantung di sekitarnya adalah tengkorak-tengkorak lain - beberapa di antaranya babi dan burung - yang telah berwarna kecokelatan.
Puluhan tengkorak hewan hasil buruan itu digantung dengan wajah menghadap keluar uma.
Dalam Arat Sabulungan, kepercayaan terhadap roh-roh yang diyakini orang Mentawai, posisi itu dipercaya dapat membuat roh binatang memanggil kawan-kawannya yang ada di hutan untuk berkumpul bersama di dalam uma, sehingga mudah diburu.
Baca juga: Berenang Tanpa Pelampung, WN Australia Hilang di Perairan Mentawai
Lepon, adalah nama anak pertamanya. Sementara 'Aman' dalam bahasa Mentawai berarti 'Bapak'.
"Simakobu itu hasil berburu saya ke hutan bersama dua saudara laki-laki saya seminggu yang lalu," katanya kepada wartawan Febrianti yang melaporkan untuk BBC Indonesia, di awal Oktober lalu.
Dusun Butui, Desa Madobag, terletak di lembah subur di hulu Sungai Sarereiket, Siberut Selatan. Dihuni oleh 87 keluarga dan 336 jiwa, masyarakat Butui masih mempertahankan budaya dan hidup selaras dengan alam.
Baca juga: Waspada Gelombang Sangat Tinggi di Samudera Hindia Kepulauan Mentawai hingga Lampung
Untuk mencapai Butui, kita harus naik pompong -perahu kecil bermesin tempel- dari Muara Siberut, pusat kecamatan, selama lima jam.
Butui telah lama menjadi salah satu kampung tradisional Mentawai yang sering dikunjungi turis, terutama dari mancanegara karena budayanya yang masih kuat.
"[Turis] datang ada yang membuat film tentang budaya kami, ada yang ingin merekam suara binatang di hutan, terutama suara monyet. Bahkan ada yang hanya duduk membuat sketsa gambar selama di sini," kata Aman Lepon.
Namun sejak pandemi Covid-19, kampung ini berubah sepi.
Baca juga: Mentawai, Salah Satu Suku Tertua di Dunia
Tidak ada lagi turis dari Eropa seperti Prancis, Jerman, atau Kanada yang datang ke uma warga Butui. Wisatawan lokal dari Jakarta dan daerah lain pun urung berkunjung.
Pandemi juga menyebabkan sebagian masyarakat adat Mentawai di Lembah Sarereiket, seperti Desa Madobag dan Desa Matotonan, kehilangan pendapatan.
Mereka umumnya mendapat uang dari menjadi pemandu wisata lokal, operator pompong, atau membuka warung.
Bahkan para petani dan peladang pun kesusahan. Kendala transportasi laut ke Padang membuat harga pisang, pinang, dan manau menjadi murah.
Baca juga: [Gempa Hari Ini] M 6,0 Guncang Mentawai, 2 Kali Susulan Terasa hingga Padang
"Hidup sekarang terasa lebih sulit, mencari uang juga susah sejak ada virus corona. Sudah dua tahun ini tidak ada tamu, baru kali ini ada tamu yang datang ke uma," kata Aman Lepon, sembari menunjuk rombongan tamu di uma besar keluarganya yang baru datang.
Aman Lepon yang biasanya menyambut turis, kini lebih sering ke hutan dan berburu babi, rusa, atau monyet untuk tambahan makanan pelengkap sagu, pisang dan keladi.
Tetapi sekadar bertahan hidup dengan makanan saja tidak cukup.