NUNUKAN, KOMPAS.com – Mengabdikan diri di kampung halaman tak serta merta menjadi nyaman dan tanpa beban.
Hal tersebut dirasakan oleh dokter Evangelina, perempuan suku Dayak Lundayeh di perbatasan RI – Malaysia.
Kini Evangelina bertugas di Puskesmas Long Bawan, Dataran Tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang merupakan tanah kelahirannya.
"Sering miris ketika merasa tahu apa yang harus dilakukan pada pasien, tetapi fasilitas untuk mendukung tindakan itu tidak ada. Rasanya sulit untuk dideskripsikan," kata Evangelina saat dihubungi, Kamis (11/11/2021).
Baca juga: Demi Ikut ANBK, Murid SD di Pelosok Krayan Kaltara Jalan Kaki 7 Jam Tembus Hutan Berlintah
Perempuan yang menyelesaikan studi kedokterannya di Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta ini menuturkan, hatinya sering teriris kala menyaksikan betapa warga di pedalaman Krayan masih hidup terisolasi.
Ia mencontohkan, warga dari pedalaman Wa’Yagung Krayan yang harus menggotong saudaranya dengan tandu saat mereka sakit dan hendak dibawa ke Puskesmas.
Mereka harus berjalan kaki dan bergantian mengusung tenda melewati hutan selama enam jam sebelum sampai ke jalan setapak yang bisa dilewati sepeda motor.
"Itu yang saya katakan kenapa saya masih merasa miris. Mereka tidak punya akses jalan sejak lama, untuk membawa pasien ke Puskesmas saja harus ditandu sekian lama, belum lagi kalau harus dirujuk, karena di Puskesmas tidak ada dokter spesialis. Sementara peralatan medis, jauh dari kata lengkap," imbuhnya.
Baca juga: Guru Honorer di Krayan Kaltara Bunuh Macan Tutul dan Unggah Fotonya di Medsos, Ini Alasannya
Di Krayan, belum ada Rumah Sakit yang menjadi rujukan. Tidak ada dokter spesialis di Puskesmas Long Bawan Krayan.
Hanya ada empat dokter yang menangani semua model penyakit sampai perkara gawat darurat.