CIANJUR, KOMPAS.com - Kabupaten Cianjur terkenal sebagai salah satu kabupaten yang menjadi lumbung padi di Jawa Barat.
Namun, Cianjur masih memiliki masalah besar pada tingkat kemiskinan ekstrem.
Hal itu terungkap dalam Rapat Pleno Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) secara virtual yang dipimpin Wakil Presiden Ma'ruf Amin beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data Dinas Sosial Cianjur, tercatat 68 persen atau 1.541.424 warga Cianjur masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang merupakan penerima bantuan warga tidak mampu, dari total penduduk sebanyak 2.243.904 jiwa.
DTKS tersebut merupakan hasil terbaru yang sudah diperbaiki dari tahun sebelumnya.
Baca juga: Cianjur Termasuk Daerah dengan Penduduk Miskin Tertinggi di Jabar, Ini Kata Bupati
Hasil perbaikan DTKS di antaranya untuk nama pengguna (username) Program Keluarga Harapan (PKH) agar bantuan langsung diberikan pada pendamping PKH.
Sedangkan untuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) serta Bantuan Sosial Tunai (BST) langsung dari Kementerian Sosial diberikan kepada Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dibantu operator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG's) tingkat desa.
DTKS tersebut juga menggambarkan kondisi status Cianjur sebagai kabupaten dengan penerima bantuan terbanyak.
Padahal, sebagian besar wilayahnya merupakan penghasil produk pertanian unggulan, seperti beras pandanwangi yang terkenal hingga ke luar negeri.
Program bantuan sosial dari pemerintah yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat dari keterpurukan saat pandemi Covid-19 malah disalahartikan membuat sebagian warga terkesan tambah malas berusaha.
Mereka malah nyaman memilih menjadi penerima bantuan saja.
Kenyataannya, sebagian warga ada yang berstatus ekonomi cukup mampu dengan penghasilan di atas Rp 500.000 per bulan. Namun, lebih senang ikut berebut mendapatkan bantuan sosial.
Namun, ketika petugas dari dinas terkait atau pendamping hendak memasang label rumah mereka dengan stiker penerima bantuan dari keluarga tidak mampu, sebagian besar menolak dan beramai-ramai keluar sebagai penerima bantuan sosial.
Sementara itu, masyarakat di pantai selatan Cianjur yang berprofesi sebagai nelayan, sebagian besar mengalami kemiskinan dan hingga saat ini belum pernah tersentuh program pembinaan dan pelatihan keterampilan untuk menunjang perekonomian.
Apalagi, saat ini mereka menghadapi paceklik ikan atau cuaca ekstrem di tengah pandemi.