KOMPAS.com - Pemerintah berencana untuk merevisi aturan Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN, sehingga 100 persen listrik yang dihasilkan akan dibeli PLN.
Aturan yang akan direvisi yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Dengan rencana ini, pemerintah ingin menekan energi berbasis fosil dari tahun ke tahun dengan mendorong secara masif peningkatan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).
Tujuannya, untuk mengejar target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Di satu sisi, kebijakan ini bisa menarik minat banyak warga berpartisipasi menuju penggunaan EBT menggunakan panel surya. Ada insentif khusus bagi warga yang memasangnya.
Apalagi pembelian listrik yang dihasilkan juga mudah, ke PLN.
Baca juga: Program Pesantren Hijau, Dorong Pesantren Jadi Agen Perubahan Iklim lewat PLTS Atap
Namun menurut Iwa Garniwa, Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia, hal ini bisa memberatkan PLN, karena harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.
Iwa khawatir, misal jika tiba-tiba awan lewat menghalangi panel surya dan pasokan listrik PLTS atap turun, maka PLN harus memikul beban penurunan itu. Sehingga Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN jadi lebih mahal.
Contoh lain, satu perumahan 50 persennya pakai panel surya atap tanpa baterai, dan di dekatnya ada gardu distribusi PLN.
"Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu 50 persen tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal," ujar Iwa, melalui rilis ke Kompas.com, Sabtu (14/8/2021).
Menurut Iwa, berkaca dari plus minus tersebut, Indonesia dinilai jangan buru-buru mendorong perkembangan PLTS atap, tanpa melirik sumber EBT lain, seperti PLTA (pembangkit listrik tenaga angin), PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi), hingga biomassa.Baca juga: Hasil Survei 2 Kampus, Mayoritas Warga Babel Setuju Pembangkit Listrik Thorium