KOMPAS.com - Gempa bumi dahsyat menggucang Sumatera pada Februari 1861, memicu tsunami yang memporak-porandakan kawasan pantai barat sepanjang 500 kilometer.
Ribuan orang diperkirakan meninggal dunia.
Kini, para pakar meyakini gempa dengan kekuatan 8,5 Magnitudo itu bukan peristiwa alam tunggal.
Gempa ini meruapakan akhir dari gempa bumi paling lama yang pernah diketahui manusia.
Baca juga: Potensi Tsunami di Laut Selatan Jatim, Pakar Geologi ITS Minta Pemerintah Sosialisasi Rumus 20-20-20
Disebut terlama karena sebelum gempa pada 1861 tersebut, terjadi gempa di bawah permukaan yang berlangsung selama 32 tahun, fenomena alam yang dikenal dengan slow-slip.
Kejadian alam seperti ini bisa berlangsung dalam hitungan hari, bulan atau tahun.
Namun dalam catatan para ahli, tak ada yang terjadi selama 32 tahun, seperti yan terjadi di Sumatera pada abad ke-19. Hal tersebut diungkakan tim pakar di Nanyang Technological University's Earth Observatory of Singapore.
Kajian mereka soal gempa terlama ini dimuat di jurnal Nature Geoscience.
Baca juga: Soal Potensi Tsunami 29 Meter di Laut Selatan, BPBD Jatim: Warga Sudah Dibekali Mitigasi Bencana
Studi baru ini diharapkan dapat membantu para ilmuwan saat ini untuk mewaspadai gempa berbahaya dengan lebih efektif, ungkap laman Scientific American.
Seperti gempa-gempa yang mengguncang permukaan bumi, gempa tipe slow-slip itu terjadi ketika dua segmen kerak bumi bergerak satu sama lain.
Beberapa patahan yang terkait dengan gempa slow slip itu kini dipantau dengan instrumen-instrumen seismik teknologi GPS.
Namun, melacak pergerakan itu pada beberapa patahan tertentu -- terutama sebelum tahun 1990-an, ketika GPS belum tersedia secara luas-- sangatlah sulit.
Baca juga: Potensi Tsunami di Selatan Jawa, Banyuwangi Punya EWS hingga Rajin Sosialisasi Mitigasi Bencana
Beberapa gempa slow-slip belakangan ini yang dipelajari para ilmuwan berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari, atau berminggu-minggu, hanya sedikit yang sampai beberapa tahun.
Keberadaan gempa slow-slip selama puluhan tahun itu "mengungkapkan bahwa zona subduksi ternyata lebih beragam dari yang diperkirakan," kata Kevin Furlong, ilmuwan geo saintifik dari Universitas Pennsylvania State, yang tidak terlibat dalam penelitian terbaru itu, seperti yang dikutip oleh Scientifc American.
Zona subduksi adalah daerah di mana kerak samudera meluncur di bawah kerak benua.
Baca juga: Cerita Tsunami 13 Meter di Banyuwangi pada 1994 yang Telan 200 Korban Jiwa...
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.