LOMBOK, KOMPAS.com - Siang itu bunyi mendesis masakan yang digoreng Nuremi (58) terdengar sampai ke halaman rumah.
Semakin mendekat ke sumber suara, desisan dan aroma sedap masakan semakin menyengat.
Baca juga: Cerita Siti soal Polisi Mengintimidasi Jemaah Ahmadiyah...
Pantas saja suara desisan itu terdengar jelas karena dapur Nuremi berada di luar rumah dan dalam kondisi setengah terbuka dengan dinding bedek.
Baca juga: Kerinduan Jemaah Ahmadiyah Ramadhan di Rumah Sendiri
Nampak Nur, sapaan Nuremi sedang menggoreng ayam untuk menu berbuka puasa bersama suami dan anaknya.
Terlihat beberapa perabotan dapur Nur tergantung di dinding bedek.
Nur bersama sang suami Ismail (50) merupakan warga jemaah Ahmadiyah yang menjadi korban penyerangan dan pengusiran dari desa mereka di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur pada 2018.
Kini mereka tinggal di tempat relokasi yang berada di sebuah lingkungan di Kota Mataram.
Nur bersama suami sekarang tinggal di sebuah bidang tanah dengan ukuran 2 are (200 meter persegi), dengan rumah yang sederhana.
Berukuran sekitar 6x6 meter persegi, rumah Nur sudah dilengkapi ruang tamu dan kamar tidur, serta kamar mandi yang berada di luar.
Lahan seluas 2 are dibeli Nur bersama suaminya dari hasil berutang di bank.
Berbekal semangat yang tinggi, Nur dan suami optimistis dapat menjalani kehidupan yang lebih baik pasca-pengusiran 2018 lalu.
Dalam memenuhi kehidupan sehari-hari, Nur bekerja sebagai pedagang di pasar bersama suaminya.
Mereka memiliki satu lapak yang digunakan untuk berjualan kelapa dan garam.
“Harus kita berjuang kalau di sini (Mataram). Kita mencari tempat aman, kita berdagang mencari uang supaya bisa makan. Kita tidak boleh lembek, tetap harus semangat, kalau lembek mati kita,” kata Nur saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Kamis (15/4/2021).
Disampaikan Nur, dia biasa mendapatkan uang dari hasil berjualan sekitar Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per hari.
“Namanya juga jualan, kadang ada, kadang turun, biasa dapat Rp 200.000, Rp 300.000, itu belum termasuk hitungan modal,” kata Nur.
Keadaan di tempat baru dan lokasi relokasi jelas berbeda. Ibu dua anak ini menuturkan, di kampung dia bisa meminjam beras ke tetangga jika habis.
Namun, di tempat yang baru ini, ia mengaku kesusahan mencari pinjaman beras. Sebisa mungkin dia harus membawa pulang beras saat pulang dari pasar.
Nur menuturkan, kehidupannya di kampung halaman tidak terlalu susah. Jika tidak memiliki uang untuk membeli lauk pauk, dia bisa pergi ke sawah memetik sayur-sayuran yang bisa dimakan.
"Kalau di kampung kan enaklah, tidak ada uang, bisa kita ke sawah, cari sayur atau kacang-kacangan yang bisa dimasak," kata Nur.
Nur biasanya menanam kacang panjang di pematang sawah, sedangkan padi sekali panen cukup menghidupi keluarganya satu tahun.
Kendati demikian, hidup di kota juga banyak kelebihan. Seperti akses kebutuhan hidup yang serba dekat dan cepat.
Ismail, suami Nur mengatakan, untuk berjuang hidup di tempat yang baru, kadang ia bekerja sebagai pengemudi ojek setelah pulang dari pasar.
“Saya juga nanti ngojek itu sampai malam, setelah selesai kerja di pasar. Pokoknya hidup di kota itu kita tidak boleh lemah, tetap harus bekerja,” kata Ismail menimpali istrinya.