SEMARANG, KOMPAS.com - Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah membentuk majelis etik terkait laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh salah satu anggota komisionernya.
Majelis etik ini ditetapkan sejak Kamis (15/4/2021) setelah KIP Jateng menggelar rapat pleno komisioner pada Senin (12/4/2021).
Ketua KIP Jateng Sosiawan mengatakan, dalam rapat pleno memutuskan untuk menerima laporan kasus KDRT dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng.
Baca juga: Pegiat HAM Jateng Lakukan KDRT ke Istri, Korban Trauma tapi Masih Tinggal Serumah
Kasus KDRT yang dilakukan oleh SH mantan pegiat hak asasi manusia (HAM) ini dilaporkan pada 8 April 2021.
"Kami telah menindaklanjuti dengan pembentukan majelis etik yang diawali dengan menetapkan nama-nama yang dipilih dan dikonfirmasi kesediaannya menjadi majelis etik," jelasnya di kantor KIP Jateng, Jumat (16/4/2021).
Majelis etik tersebut berasal dari akademisi, tokoh masyarakat dan Komisi Informasi Pusat.
Di antaranya Sri Suhandjati Sukri selalu akademisi dari UIN Walisongo, Emang Sulaiman selaku tokoh masyarakat dari MUI Jateng dan Gede Narayana selaku Ketua Komisi Informasi Pusat.
"Majelis etik bersifat final dan mengikat. Tidak ada yang bisa mempengaruhi rekomendasi dari majelis etik dari pihak manapun. Mereka bebas, mandiri dan profesional," ujarnya.
Baca juga: Istri Pegiat HAM Jadi Korban KDRT 10 Tahun, Tak Laporkan Suaminya Demi Hal Ini
Selanjutnya, majelis etik akan menggelar sidang etik pertama selambat-lambatnya lima hari kerja setelah ditetapkan.
Sementara pelaksanaan sidang etik harus menyampaikan hasil rekomendasi untuk menjatuhkan sanksi selambatnya 20 hari kerja setelah sidang pertama dimulai.
"Apabila terbukti ada pelanggaran kode etik, majelis akan memberikan rekomendasi sanksi ringan, sedang, dan berat. Dalam hal anggota KIP dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tetap, Ketua komisi mengusulkan kepada Gubernur," ujarnya.