KOMPAS.com - "Jadi, akan sangat keliru jika ada yang mengatakan kelahiran sebagai seorang perempuan itu adalah karma buruk."
Hal itu diucapkan Julia Surya (35) atau Bhikkhun? ?hit?car?n?, dalam sebuah webinar bertajuk "Wanita Hebat Zaman Buddha" pada awal Maret lalu.
Ia merujuk pada pemahaman yang masih diyakini sejumlah umat Buddha bahwa perempuan lebih inferior dari laki-laki.
Baca juga: Mau Coba Jeep Wisata Keliling Borobudur? Berikut Harga Paketnya
Dengan latar belakang Candi Borobudur di aplikasi Zoom-nya, perempuan berjubah oranye itu menjelaskan tentang sosok Khujjuttar?, seorang pengikut Buddha perempuan terpelajar atau yang disebut up?sik?.
Khujjuttar?, adalah satu-satunya siswa perempuan yang karyanya masuk dalam kitab Buddha bagian Khuddaka Nik?ya.
Kitab yang ditulis Khujjuttara, Itivuttaka, berisi khotbah-khotbah Buddha dalam bentuk prosa.
"Ketika ada up?saka (pengikut Buddha laki-laki) yang pintar, ternyata kita ada up?sik? yang pintar juga," ujar dosen di STIAB Smaratungga, Boyolali, Jawa Tengah itu.
Baca juga: Wisata Keliling Borobudur Pakai Jeep, Kunjungi Tempat Wisata dan UMKM Desa
Julia adalah satu dari belasan perempuan Indonesia yang ditahbiskan menjadi Bhikkhuni Therav?da, alirah Buddha terbesar di Indonesia selain Mah?y?na.
Ia adalah Bhikkhuni Therav?da bergelar doktor pertama di Indonesia yang mendalami bidang agama Buddha.
Ia juga tengah mengejar gelar master keduanya di bidang Bimbingan dan Konseling di sebuah universitas di Semarang.
Baca juga: Berita Foto: Keindahan Desa Karangrejo di Borobudur, Magelang
Pendidikan, baginya, bukanlah suatu hal yang bisa ditawar-tawar, apalagi mengingat masih banyaknya pihak yang mempertanyakan keabsahan bhikkhuni Theravada.
"Misalnya, seperti bhikkhuni, di mana penolakan masih besar di luar sana, jika tidak membekali diri dengan pendidikan, dengan pengetahuan, dengan Dhamma (ajaran Buddha) yang baik, itu akan sangat sulit.
"Tapi ketika kita membekali diri dengan pendidikan, disiplin yang baik, itu akan menjadi satu nilai plus untuk tidak diremehkan," katanya dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
Baca juga: Kokohnya Wihara Lalitavistara Cilincing dan Sekolah dengan Mayoritas Siswa Muslim...
Ia pun lanjut duduk bertumpu lutut untuk menjalankan ibadah itu, dengan dua s?ma?er? dan (calon Bhikkhun?) di sisinya. Selama 45 menit, ia bermeditasi dan membaca Paritta.
Puja Bhakti mesti dilakukannya dua kali sehari, tapi setelah menjalani kehidupan monastik selama 13 tahun, hal itu tak dirasanya berat karena sudah biasa dilakukannya.
Baca juga: Tokoh Budha: Pakai Masker Cara Cerdas Sikapi Hidup...
Melihat ke belakang, Julia mengatakan tak pernah berambisi menjadi seorang bhikkhuni, meski sudah aktif dalam kegiatan keagamaan Buddha sejak SMP.
Sedari kecil, ia pun selalu tertarik dengan kehidupan monastik, yang disebutnya penuh kesederhanaan.
Perempuan asal Bengkalis, Riau, itu mulanya terbang ke Pulau Jawa dengan tujuan untuk 'berlatih ' atau menjalani kehidupan monastik, meski saat itu ia mengatakan pada orang tuanya akan kuliah.
"Boleh dikatakan antara tekad dan nekat itu beda tipis," ujarnya.
Baca juga: RSCM Terima Bantuan 4.000 Masker dan 100 Baju Isolasi dari Yayasan Budha Tzu Chi
Dia bertemu dengan seorang guru, yang mendorongnya untuk belajar agama Buddha secara formal di bangku kuliah.
"Saya awalnya masih tawar menawar. Bhante, saya nggak mau kuliah. Tapi beliau bilang baik-baik, 'kamu harus kuliah'.
"Saya selalu bilang nggak mau, sampai terakhir beliau ngomong, 'kalau nggak mau kuliah jangan jadi murid saya'.
Baca juga: Potret Toleransi dari Timika, Anak Muda Katolik Kristen, Hindu, Budha Jaga Shalat Id