Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nestapa Hidup Guru Honorer di Perbatasan RI-Malaysia, Pernah Digaji Rp 1 Juta Setahun

Kompas.com - 26/11/2020, 20:17 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Kondisi perbatasan RI – Malaysia yang serba terbatas menjadi gambaran perjuangan Kornalius (35), guru honorer di SDN Panas, Kecamatan Lumbis Pansiangan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa apalagi berstatus guru honorer di wilayah ini membuat hidupnya masih jauh dari kata mapan.

Tidak ada kemudahan akses transportasi dengan biaya murah atau jaminan kehidupan layak.

"Saya diminta mengajar setelah lulus SMA tahun 2005, Kepala sekolah yang buat SK tugas untuk saya, saya ingat gaji pertama saya Rp 150.000," ujar Kornalius mengawali kisahnya melalui sambungan telepon, Kamis (26/11/2020).

Baca juga: Hari Guru Nasional, Guru Honorer Kemenag Peroleh Subsidi Gaji

Terbatasnya tenaga pendidik di perbatasan RI membuatnya harus mengajar semua mata pelajaran yang ada.

Tentu saja daya nalar dan kemampuan pikir anak-anak di perbatasan tidak sebanding dengan yang ada di perkotaan apalagi daerah Jawa.

Untuk mengajar satu mata pelajaran di SDN Panas, Kornalius harus pakai tiga bahasa.

Pertama, ia menjelaskan pelajaran dengan bahasa Indonesia dengan mencampurnya dengan dialek Melayu. 

Pasalnya, masyarakat perbatasan di Lumbis Pansiangan lebih sering berinteraksi dengan warga Malaysia dalam keseharian mereka.

"Saya harus selalu menjelaskan dengan bahasa daerah, bahasa Dayak Okolod dan Agabag, keduanya mirip. Kebetulan saya orang pribumi, dan anak-anak di sini belum terlalu lancar menerima penjelasan pelajaran menggunakan bahasa Indonesia," katanya.

Kesulitan dalam mengajar kembali diuji saat Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan belajar daring untuk meminimalisasi sebaran wabah virus corona.

Baca juga: Menag: Peran Guru dalam Perjalanan Sejarah Bangsa Indonesia Sungguh Besar

Kebijakan tersebut membuat Kornalius gusar, karena hanya segelintir murid saja yang memiliki ponsel apalagi yang berbasis Android.

Warga Lumbis Pansiangan hanya para pekebun dan pencari ikan di sungai. Ponsel masih menjadi barang mewah di wilayah ini.

"Anak-anak perbatasan meski sekolah normal, mereka tetap tertinggal dari segi pelajaran, apalagi kondisi wabah. Jadi saya datangi rumah mereka dan akhir-akhir ini anak-anak yang ke rumah, belajar pakai HP saya," katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com