Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Dokter Bandung Pembuat "Rapid Test" Antigen: Produknya Sulit Bersaing dengan China hingga Penelitian Sia-sia

Kompas.com - 12/11/2020, 09:55 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Bachti Alisjahbana, dokter penyakit dalam di RS Hasan Sadikin Bandung merupakan pendiri start up diagnostik penyakit dan juga peneliti di bidang kesehatan dari Universitas Padjajaran (Unpad). 

Ia berbagi pengalamannya memproduksi "rapid test" antigen yang kemudian terpakai saat ini untuk mendeteksi secara cepat pasien apakah terpapar Covid-19 atau tidak. 

Rapid test antigen dan antibodi pertama kali dibuatnya saat bertugas di salah satu Puskesmas di Kabupaten Jaya Wijaya, Provinsi Papua, 2008 silam.

Baca juga: Kasus Covid-19 Tembus 291.182, Indonesia Minta Bantuan Alat Rapid Test Antigen ke WHO

Pengalaman mengabdi di Papua yang masih gelap gulita

Berbeda dengan Jawa, tanah Papua gelap gulita. Tak ada listrik. Satu-satunya aliran listrik di sana berasal dari solar panel untuk lemari es vaksin.

Tak heran, jika Puskesmas adalah satu-satunya tempat yang terang di daerah tersebut. Sisa listriknya, ia manfaatkan untuk membuat laboratorium yang dibutuhkan saat memeriksa malaria.

Bachti dan temannya yang bekerja di bidang diagnostik, Sukwan, kemudian menciptakan rapid test antigen.

“Alasannya sederhana, karena kita butuh rapid test dan alat tersebut sulit diperoleh (di Papua),” tutur dokter spesialis penyakit dalam ini kepada Kompas.com di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), belum lama ini.

Baca juga: Mengenal GeNose, Alat Canggih Pendeteksi Covid-19 dalam 80 Detik Lewat Embusan Napas

 

Bikin start up, produknya diremehkan

Bachti dan rekannya tidak hanya meneliti. Mereka membuat start up dengan bantuan dana orangtua Bachti untuk memproduksi rapid test antigen. Rapid test jenis ini sempat diremehkan sejumlah pihak.

“Bikin (alat) rapid test tidak sulit. Kita punya penyakitnya, kumannya, tapi tidak ada produsen antigen dan antibodi di Indonesia,” ungkap dia.

Jadi, Bachti dan rekannya pun kemudian mengimpor antibodi dan antigen untuk diujikan ke pasien. Kalau hasilnya bagus, bisa dijual. Kalau tidak, kembali mengambil antibodi dan antigen dari luar negeri.

“Perjalanannya sulit. Kita lakukan berbagai cara. Pertama pakai produk luar negeri, baru pelan-pelan diubah komponennya,” ucap dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com