Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Anak Korban Perang Kemerdekaan yang Tolak Tawaran Ganti Rugi dari Belanda: Itu Tidak Adil

Kompas.com - 22/10/2020, 11:50 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejumlah anak korban eksekusi serdadu Belanda selama perang kemerdekaan tahun 1945-1950 menolak tawaran ganti rugi sebesar 5000 Euro (sekitar Rp86 juta). Jumlah tersebut dianggap tidak sepadan.

Ketika Raja Belanda Willem-Alexander menyampaikan permohonan maaf kepada Indonesia atas kekerasan yang terjadi antara tahun 1945 dan 1949, dalam kunjungannya ke Istana Bogor awal tahun ini, Sardjono Danardi baru mengetahui bahwa ia bisa menggugat pemerintah Belanda.

Dalam periode tersebut, negara Indonesia yang baru memproklamirkan kemerdekaan berjuang untuk mempertahankan negara dari Belanda yang ingin kembali menguasai setelah Jepang angkat kaki.

Baca juga: Perlawanan Bali Terhadap Belanda

Ayah Sardjono, Letkol dr. Sudjono, adalah anggota tim dokter di Brigade IX "Kuda Putih", salah satu pasukan gerilya pada masa Perang Kemerdekaan.

Brigade yang dipimpin Letkol Ahmad Yani (yang kemudian menjadi jendral) itu beroperasi di Magelang, Jawa Tengah.

Sardjono menceritakan, ayahnya ditangkap serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) pada bulan Februari 1949 saat sedang mandi di sungai.

Ia kemudian berusaha melarikan diri dengan melompat pagar namun tersandung hingga terjatuh dan akhirnya ditembak tentara Belanda.

Baca juga: Perang Pattimura Melawan Belanda

Peristiwa penembakan dr. Sudjono diceritakan oleh mantan koleganya dalam sebuah buletin internal TNI-AD.Sardjono Danarbi Peristiwa penembakan dr. Sudjono diceritakan oleh mantan koleganya dalam sebuah buletin internal TNI-AD.
Menurut Sardjono, penembakan tersebut melanggar prinsip Hukum Humaniter Internasional yang mengatur tindakan-tindakan selama perang.

Hukum tersebut, yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag, tegas melarang penyerangan terhadap tenaga medis.

"Pada saat dari tempat mandi itu kan membawa peralatan obat. Mereka pasti tahu itu tim kesehatan, mestinya tidak boleh ditembak atau dianiaya," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Peristiwa penembakan dr. Sudjono diceritakan oleh mantan koleganya dalam sebuah buletin internal TNI-AD.

Baca juga: Perang Tondano Melawan Belanda

Setelah membaca tentang ganti rugi sebesar 20.000 Euro yang diberikan kepada para janda dan anak-anak dari korban pembantaian di Rawagede dan Sulawesi Selatan pada 2013 dan 2015, Sardjono berpikir sudah waktunya ia mendapat kompensasi atas kematian ayahnya.

Namun ia berkata tidak akan mengikuti skema terbaru dari pemerintah Belanda karena jumlah kompensasi yang ditawarkan menurutnya "terlalu kecil".

"Ganti rugi tidak melulu sekadar ganti rugi," kata Sardjono. "Mungkin akan ada biaya pengacara yang dari Indonesia, biaya pengacara yang dari luar."

Sardjono mengatakan ia sudah membuat perhitungan sendiri tentang besaran kompensasi yang sepadan. Namun tidak mau mengungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Belanda Mau Ganti Rugi Rp 86 Juta ke Anak-anak Pejuang Indonesia yang Dieksekusi, tapi...

'Tak terhingga nilainya'

Sardjono Danardi dan keluarga berpose di depan rumah sakit yang dinamai dengan nama almarhum ayahnya.Sardjono Danardi Sardjono Danardi dan keluarga berpose di depan rumah sakit yang dinamai dengan nama almarhum ayahnya.
Sardjono baru berusia enam bulan ketika peristiwa nahas itu terjadi. Ia kemudian dibesarkan oleh kakeknya, setelah ibunya menikah lagi.

Pria yang kini berusia 71 tahun itu baru mengetahui bahwa ayah kandungnya meninggal pada usia lima tahun, dan diberi tahu bahwa sang ayah mati ditembak setelah masuk SMA.

"Saya sedih sekali, bagaimana orang tua saya meninggalnya bukan meninggal biasa tapi ditembak oleh musuh, dan ditembaknya itu semena-mena, pada saat melakukan suatu kegiatan kebajikan, kemanusiaan," ungkapnya.

Ayah Sardjono, Letkol dr. Sudjono, adalah sosok yang dihormati.

Baca juga: Berlibur ke Yunani di Tengah Virus Corona, Raja Belanda Dikecam Rakyatnya

Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit tentara di Magelang.

Dalam peresmian nama rumah sakit tersebut pada 1973, Sardjono diberi tahu mantan kolega-kolega ayahnya tentang kronologi penembakan itu.

Sejak saat itu, ia aktif mencari tahu lebih banyak tentang ayahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com