MEDAN, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, konflik agraria masih menjadi persoalan yang genting di Sumatera Utara.
Menurut KontraS, banyak kasus yang tidak selesai, bahkan semakin banyak penambahan kasus-kasus baru.
Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis menyebut Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak punya kemauan dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah agraria.
Baca juga: Soroti Konflik Agraria, Gerindra Setuju DPR Bahas RUU Masyarakat Hukum Adat
Pendekatan yang dilakukan dinilai masih konvensional, cenderung menyampingkan hak rakyat kecil dan pro pada pemodal-pemodal besar.
Menurut Amin, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pernah berjanji menyelesaikan konflik agraria dalam jangka waktu setahun.
Namun, setelah dua tahun jadi gubernur, konflik agraria semakin mengkhawatirkan.
"Janji Edy menuntaskan konflik dalam waktu setahun ibarat jauh panggang dari api," kata Amin dalam keterangan tertulis, Kamis (24/9/2020).
Baca juga: Edy Rahmayadi Berencana Isolasi Pulau Nias: Bulan Lalu Nol Kasus, Sekarang 90 Orang Kena Corona
Hasil monitoring sepanjang 2020, KontraS mencatat ada 30 titik konflik agraria yang terjadi.
Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan 2019, dengan 23 titik konflik.
Menurut Amin, hal ini bukan hanya mengakibatkan terampasnya ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat.
Namun juga kerap mengakibatkan korban luka hingga kriminalisasi terhadap mereka yang mempertahankan haknya.
Secara garis besar, KontraS mengkategorikan akar persoalan konflik agraria di Sumut menjadi lima.
Kelimanya yakni, konflik akibat tumpang tindih hak guna usaha (HGU), konflik di atas tanah eks HGU, konflik akibat masuknya pembangunan dan industri skala besar, konflik imbas belum direalisasikannya kebun plasma dan konflik di kawasan hutan.