KOMPAS.com - Ketika pariwisata Bali sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19, siapa sangka rumput laut bisa menjadi penyelamat perekonomian warga Nusa Lembongan, sebuah pulau sebelah tenggara Denpasar.
Di tengah terik matahari yang menyengat, Luh Widiani menjemur rumput laut. Sambil berjongkok, perempuan berusia 38 tahun itu menaruh rumput laut basah pada terpal lalu membolak-balik sebagian lainnya agar tersebar merata.
Bersama suaminya, Widiani membudidayakan rumput laut di teluk yang memisahkan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, dua pulau di sebelah tenggara Denpasar yang dapat dijangkau menggunakan kapal cepat (speed boat) sekitar 30 menit dari Sanur.
Baca juga: Biaya Rapid Test di Bandara Ngurah Rai Bali Turun Jadi Rp 85.000
Widiani adalah pekerja vila, suaminya juga bekerja di sektor pariwisata. Namun, tanpa ada turis datang ke Bali akibat pandemi Covid-19, mereka dirumahkan pada Maret lalu.
Sejak akhir Mei, Widiani dan suaminya kembali menggeluti komoditas yang sekian lama mereka tinggalkan.
"Capeknya luar biasa, tetapi keadaan yang memaksa saya begini. Keadaan ekonomi yang membuat saya memilih pekerjaan ini," kata Widiani pada awal September lalu, sambil tetap jongkok dan meratakan rumput laut.
Baca juga: Rekor Baru Covid-19, Berikut 41 Kabupaten/Kota Zona Merah di Indonesia, Bali Masih Memimpin
Saat masih bekerja di sektor pariwisata, Widiani dan suaminya mendapatkan gaji setidaknya Rp5 juta masing-masing. Kini, mereka berdua mendapat sekitar Rp 4 juta per bulan untuk semua rumput laut yang dikelola.
Jumlah itu lebih kecil. Namun, menurut Widiani, itu tetap lebih baik daripada tidak ada pendapatan sama sekali.
bali
I Nyoman Sulitra, salah satu perintis pariwisata di Nusa Lembongan, adalah saksinya.
"Mulai 2008 masyarakat lokal membangun vila. Orang-orang Lembongan berduyun-duyun bikin vila. Kalau punya uang, pasti bikin vila," kata Sulitra kepada wartawan BBC News Indonesia di Bali.
Baca juga: 7 Prajurit TNI AD Positif Covid-19 Setelah Pulang Pendidikan dari Bali
Bangkitnya pariwisata dibarengi dengan kerugian yang diderita petani rumput laut. Hal ini membuat semakin banyak warga yang meninggalkan komoditas tersebut.
"Rumput lautnya murah, harganya sampai Rp 3.000-Rp 4.000. Kalau dihitung antara pekerjaan dan hasilnya kan tidak match ya. Lebih baik dia lari ke pariwisata mumpung pariwisata berkembang pesat. Mulai itulah pelan-pelan ditinggalkan rumput laut," paparnya.
Baca juga: Pulang dari Pendidikan di Bali, 19 Anggota TNI Positif Covid-19
Selain vila yang dikelola bersama keluarganya, Sulitra mengelola restoran dan vila bersama teman karibnya yang kini jadi pemodal.