ACEH UTARA, KOMPAS.com – Enam bulan pandemi corona, jumlah kasusnya semakin banyak dan dampaknya semakin menghantam perekonomian warga, terutama warga Desa Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.
Pasalnya, sebagian besar warga kampung ini adalah perajin tas yang jadi lumpuh produksinya semenjak pandemi merebak.
Perekonomian warga di kampung yang ratusan tahun terkenal sebagai desa perajin tas ini pun surut sejak enam bulan lalu.
Semua perajin merumahkan pekerja. Pesanan untuk tas Aceh anjlok nyaris ke titik nadir.
Baca juga: Berawal dari Hobi, Pasangan Ini Raup Omzet Rp 20 Juta Per Bulan dari Jualan Aglonema
Sang kepala desa, Salahuddin AB, berpikir keras menyiasati pengangguran yang terus meningkat di kampungnya.
Ia tak ingin kampungnya menjadi sarang pengangguran dan berakhir jadi sarang narkoba.
Lalu, Salahuddin terpikir untuk mengolah buah kelapa. Dalam adat Aceh, buah bibit kelapa kerap digunakan sebagai hantaran pengantin baru.
Maka, lahirlah kreasi bonsai kelapa. Hobi membonsai kelapa itu dimulai sebulan terakhir.
Tak tanggung-tanggung, ilmu membuat bonsainya kemudian disalurkan dengan mendirikan Komunitas Meuroe Bonsai (KMB).
Baca juga: Di Bandung, Sampah Organik Bisa Ditukar dengan Bibit, Kompos, hingga Peralatan Perkebunan
Ilmu membonsai tanaman pernah diperolehnya saat belajar di Lembang, Jawa Barat. Saat itu, sejumlah kepala desa ikut bimbingan teknis pengembangan desa ke Jawa Barat.
Teknik dasar membonsai tanaman itulah yang membuatnya percaya diri. Membonsai kelapa bukan tanaman hias biasa.
Bonsai kelapa termasuk jenis bonsai yang masih langka di Indonesia. Keunikan bonsai kelapa dilihat dari bentuk daun sampai akar. Makin unik, makin tua usia kelapa, maka makin mahal harga jual.
“Kisaran harga sekarang itu mulai mahal, dari Rp 150.000 hingga Rp 3 juta per bonsai kelapa. Tergantung keindahannya,” kata Salahuddin tersenyum.
Baca juga: Kampung Kami Banyak Air, Tapi Tidak Bisa Digunakan Gara-gara Proyek Kereta Cepat