KOMPAS.com - Sebuah desa berjarak sekitar 90 kilometer dari Denpasar, kedatangan ratusan warganya yang pulang merantau dari Bali selatan setelah sektor pariwisata terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Kepala desa itu kemudian mengajak warganya untuk kembali bertani—bidang yang selama ini ditinggalkan lantaran pariwisata lebih menggiurkan.
Berada di pesisir Bali bagian timur laut, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, jauh dari pusat pariwisata di Bali selatan.
Dari Denpasar perlu waktu sekitar 3,5 jam dengan kendaraan bermotor menuju desa ini. Itu pun melalui jalan naik turun dan berliku-liku.
Baca juga: Tingkatkan Produksi Pertanian, Kementan Minta Petani Manfaatkan Dam Parit
Pada musim kemarau seperti saat ini, tanah-tanah di desa ini terlihat kering. Mengepulkan debu. Kebun-kebun tak terurus meski di dalamnya berisi aneka tanaman, seperti mangga, kelapa, mete, dan lontar.
Di antara beragam tanaman tersebut, Dewa Komang Yudi Astara, 34 tahun, berdiri.
Kepala Desa Tembok di perbatasan Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem, Bali bagian timur laut ini berambisi mengubah Covid-19 sebagai momentum.
"Pandemi ini menjadi momentum untuk melihat apa yang kita miliki tetapi selama ini kita abaikan," kata Yudi kepada wartawan BBC News Indonesia, pada Rabu (12/8/2020) lalu.
Baca juga: Jaga Ketahanan Pangan, Kementan Bangun Embung di Brebes
Tercatat sekitar 40% dari 2.300 kepala keluarga (KK) warga Desa Tembok memilih merantau ke Bali selatan untuk bekerja di bidang pariwisata.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia dan membuat sektor pariwisata di Bali terpuruk pada Maret 2020, ratusan warga desa yang dulu merantau untuk bekerja di Bali selatan, sekarang kembali ke kampung halaman dan menganggur.
Dua di antaranya adalah Dewa Ketut Arta, 40 tahun, dan Nyoman Jenek Arta, 48 tahun.
Baca juga: Jaga Ketahanan Pangan, Jokowi Anggarkan Rp 104,2 Triliun
Ketut Arta sudah bekerja di Kuta, kiblat pariwisata Bali saat ini, sejak 1999. Bujangan ini pernah bekerja di restoran, spa, dan terakhir sebagai sopir lepas.
Pendapatan per bulannya naik turun, tetapi rata-rata berkisar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta pada saat musim puncak turis.
"Itu belum termasuk tip dari tamu," katanya.
Bagi bujangan yang hidup sendiri di Kuta, Badung, Arta mengaku pendapatan itu lebih dari cukup. Dia bahkan bisa membangun rumah di kampung halamannya.
Baca juga: Lahan Pertanian Terproteksi Asuransi, Para Petani di Sulut Bisa Bernapas Lega
Meskipun pernah balik kampung ketika Bali terkena bom dua kali pada 2002 dan 2005, bapak tiga anak ini masih kembali ke Seminyak, kawasan sibuk yang penuh dengan restoran, kafe, hotel, toko suvenir, dan aneka fasilitas pariwisata lain.
Sehari-hari dia menjadi sopir taksi dengan pendapatan tak jauh beda seperti Ketut Arta, antara Rp 5 juta hingga Rp 6 juta.
Begitu pandemi menghantam Bali dan meruntuhkan pilar utama ekonomi pulau ini yaitu pariwisata, para pekerja di sektor ini pun berduyun-duyun kembali ke desa. Begitu pula dengan Jenek dan Arta.
"Sekarang pendapatan nol. Untuk makan saja kurang," kata Jenek.
Baca juga: Dinas Pertanian Muaro Jambi Khawatirkan Dampak Pembangunan Stockpile Batu Bara
Jenek mengaku selama dua hingga tiga bulan pertama kembali ke kampungnya dia merasa stres.
"Mungkin karena dompet pragat metalang," katanya dalam campuran bahasa Bali. Artinya dompet tak lagi terisi.