JAMBI, KOMPAS.com – Mimpinya sederhana, hanya ingin setara dengan kartunis Pulau Jawa.
Edi Dharma lahir dan besar di Jambi, kawasan pesisir di bagian tengah Pulau Sumatera.
Hidup serba seadanya membuat mimpinya menjadi tidak mudah
Untuk membeli komik, Edi harus berjualan empek-empek dan roti.
Namun, dari komik yang dia beli itu, Edi belajar kartun secara otodidak.
Baca juga: Mengenal Keunikan Kerupuk Gurilem, Tiga Rasa yang Menggoyang Lidah
Besar saat era Orde Baru membuat Edi kritis terhadap persoalan sosial, ekonomi dan politik.
Pada periode 1991-2001, dia menjajakan karyanya dan dimuat di Sriwijaya Post, Jambi Post dan Mediator.
Kerja secara profesional di Mediator sebagai illustrator cerita rakyat, Edi kemudian dilirik koran pertama dan terbesar di Jambi, yakni Jambi Independent pada 2003-2005.
Lalu dia meniti karir di TVRI Jambi sampai hari ini sebagai kartunis freelance, editorial kartun sepekan.
Selain itu, Edi mengajar menggambar dan mewarnai di sekolah Stellamaris, Jambi.
Edi juga mengisi program Mari Menggambar di TVRI Jambi seperti Tino Sidin pada masanya.
Berkarya dalam dua masa, Orde Baru dan Reformasi, menurut Edi, ada banyak perbedaan.
Edi memandang masa Orde Baru dapat melahirkan karya-karya kartun yang tajam dan berani dalam mengkritik persoalan, meskipun ada pembatasan.
Baca juga: Kisah Cinta Pengantin dengan Maskawin Sandal Jepit dan Segelas Air, Berawal dari Media Sosial
Kala menempuh zaman Reformasi, dia terganggu dengan jalan kebebasan yang kebablasan.
Kritik kadang menyerang pribadi, bukan pada inti persoalan. Wajah kartun menjadi penuh emosi dan opini.
Sebaliknya, kritik yang kuat dan akurat justru disebut hoaks.