Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Babad Tawangalun, Saat Using hingga Bali Duduk Bersama Membaca Sejarah Banyuwangi di Masa Lalu

Kompas.com - 28/04/2020, 04:05 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com – Belasan orang duduk melingkar di aula Sanggar Sosono Ngudi Utomo milik I Wayan Sutama di Jalan Agus Salim, Banyuwangi pada Minggu, 29 Desember 2019.

Mereka terlihat serius mendengarkan lantunan tembang Babad Tawangalun yang dibacakan oleh Kristanto, seorang pendeta Gereja Kristen Jawi Wetan Banyuwangi.

Tak hanya Kristanto. Acara pelantunan tembang lintas budaya dihadiri oleh juru tembang dari Kabupaten Banyuwangi yang memiliki latar belakang budaya berbeda seperti Madura, Bali, Jawa Mataraman serta Using sebagai suku asli Banyuwangi.

Baca juga: Akademisi Unpad Kupas Ragam Obat Tradisional di Naskah Sunda Kuno

Tembang akan dilantunkan dalam ragam tembang yakni cara Using (mocoan), Jawa (mocopatan), Madura (mamaca), dan Bali (mabasa).

Suhalik penggagas acara pembacaan tembang Babad Tawangalun lintas budaya mengatakan, kegiatan tersebut adalah ekspresi kebhinekaan yang sudah terbangun sejak Babad Tawangalun ditulis, yakni sekitar abad ke-18.

“Gagasan ini merupakan respon atas kondisi sosial yang tengah mengemuka akhir-akhir ini, yaitu politik identitas”, kata Suhalik yang juga sejarawan Banyuwangi

Baca juga: Ribuan Naskah Kuno di Solo yang Berusia Ratusan Tahun Didigitalisasi

Pria yang juga menyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang bersama Wiwin Indiarti dan Anasrullah mengaku sempat miris saat agama dipolitasi. Apalagi isu tersebut sempat mengemuka saat pemilihan presiden beberapa tahun lalu.

"Semua pasti merasa saat tahun politik, semuanya menjadi tegang. Agama dipolitisasi. Akhirnya saya mengajak kawan-kawan membaca Babad Tawangalun. Lewat seni baca bersama dengan tidak menentangkan perbedaan," kata guru SMA Giri Banyuwangi itu.

“Kita harus mengubur permusuhan masa lalu dan membuat lembaran sejarah baru yang menghargai perbedaan. Dan kami di Banyuwangi memilih merajut kebersamaan, dengan membaca babad ini," jelas Suhalik.

Baca juga: Manuskrip Kuno Turki Catat Kematian Seseorang karena Meteorit Jatuh

Suhalik (tengah) penyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang bersama dengan pelantun Babad TawangalunDokumen Wiwin Indiarti Suhalik (tengah) penyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang bersama dengan pelantun Babad Tawangalun
Pembacaan tembang lintas budaya sudah dilakukan sejak tahun 2017 saat memperingati Hari Jadi Banyuwangi ke-246. Tak hanya melibatkan juru tembang lintas budaya, acara tersebut juga diikuti anak-anak muda Banyuwangi yang tergabung dalam Komunitas Mocoan Lontar Yusup Milenial.

Secara bergantian mereka melantunkan tembang Babad Tawangalun, yang memuat sejarah konflik Kerajaan Blambangan.

"Latar belakang konflik di Blambangan yang melibatkan Jawa Mataraman, Bali, Madura, dan Bali menjadi alasan kita mengadakan pelantunan tembang lintas budaya. Dulu perang sekarang duduk bersama. Membaca babad ini," kata Suhalik.

Baca juga: Akademisi Unpad Kupas Ragam Obat Tradisional di Naskah Sunda Kuno

Hal senada juga dijelaskan oleh Wiwin Indiarti, penyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang. Ia mengatakan Banyuwangi adalah tempat pertemuan banyak etnis di masa lalu. Sehingga tidak seharusnya masyarakat terpolarisasi karena perbedaan termasuk urusan pilihan politik.

“Sejak lama, kami multikultural. Tidak bisa menjadikan semua sama karena wilayah Banyuwangi adalah area perlintasan,” kata Wiwin.

Baca juga: Weird Genius Rilis Lagu Baru dengan Bahasa Jawa Kuno

Duduk bersama membaca sejarah

Acara pelantunan tembang lintas budaya dihadiri oleh juru tembang dari Kabupaten Banyuwangi yang memiliki latar belakang budaya berbeda seperti Madura, Bali, Jawa Mataraman serta Using sebagai suku asli Banyuwangi pada Desember 2019 laluDokumen Wiwin Indiarti Acara pelantunan tembang lintas budaya dihadiri oleh juru tembang dari Kabupaten Banyuwangi yang memiliki latar belakang budaya berbeda seperti Madura, Bali, Jawa Mataraman serta Using sebagai suku asli Banyuwangi pada Desember 2019 lalu
Kristanto, seorang pendeta Gereja Kristen Jawi Wetan Banyuwangi mengatakan ia menembangkan Babad Tawangalun dengan cara mocopatan. Namun ia memilih pupuh yang ia bisa karena ia belum pernah menembangkan Babad Tawangalun.

"Saya mewakili Jawa Mataraman. Kebetulan sejak masih muda saya sudah suka baca mocopatan. Tapi saya hanya baca pupuh yang bisa. Karena ada pupuh yang tidak ada di Jawa Mataraman. Sekalian belajar juga," kata pendeta Kristanto yang berasal dari Tulungagung.

Menariknya, Babad Tawangalun sebelumnya tidak pernah ditembangkan baik pada tradisi lisan Using yaitu Macaan maupun Macapatan Jawa, Mebasa Bali dan Mamaca Madura di kalangan masyarakat umum sebelum acara ini.

Baca juga: Barong Usir Bencana Di Bumi Blambangan

Seperti Kristanto, para juru tembang harus berlatih lebih dahulu untuk memastikan ketepatan nada tembang masing-masing etnis saat teks Babad Tawangalun dikidungkan.

Selama ini Babad Tawangalun ini hanya dibaca oleh kalangan keluarga pewaris dan kalangan akademisi maupun pegiat serta pemerhati sejarah untuk tujuan penelitian.

Selain Kristanto, pelantun tembang lintas budaya Babad Tawangalun adalah I Wayan Sutama.

Pria berusia 64 tahun asal Bali itu sudah menetap di Banyuwangi sejak tahun 1978. Pada tahun 2019, Wayan lah yang menyiapkan aula rumahnya untuk pembacaan tembang lintas budaya Babad Tawangalun.

Baca juga: Berwisata ke Pendopo Sabha Swagata Blambangan

Babad Tawangalun dilantunkan dalam ragam tembang yakni cara Using (mocoan), Jawa (mocopatan), Madura (mamaca), dan Bali (mabasa).Dokumen Wiwin Indiarti Babad Tawangalun dilantunkan dalam ragam tembang yakni cara Using (mocoan), Jawa (mocopatan), Madura (mamaca), dan Bali (mabasa).
"Saat duduk bersama membaca Babad Tawangalun. Itu adalah suatu kebahagian yang tak terkira. Dulu kita perang, sekarang duduk bersama. Banyak yang dipelajari dari babad ini. Tentang perebutan kekuasaan yang memicu konflik selama bertahun-tahun. Dan di masa sekarang jangan sampai terulang lagi," kata Wayan.

Ia bercerita selama ini sering ngidung mabasa sebagai bagian ritual agama Hindu yang ia yakini. Sesekali ia juga ngidung mabasa di acara perkawinan adat Bali yang diselenggarakan oleh umat Hindu yang ada di Banyuwangi.

"Sekarang sudah jarang penembangnya. Sudah tua semua. Jadi bahagia bisa ikut baca baca Babad Tawangalun. Semua bisa belajar. Saya dari Bali nyebutnya mabasa, belajar tembang dari kawan Madura dan Using juga dari Jawa Mataraman," kata Wayan.

Baca juga: Belajar Sejarah Kerajaan Blambangan dari Kirab Pusaka Rowo Bayu

Wayan mengatakan pembacaan Babad Tawangalun adalah bagian dari seni. Namun ia mengaku berusaha memahami cerita Babad Tawangalun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com