BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Sido Muncul

Hidup Sebatang Kara, Murtinah Penderita Katarak Kini Bisa Melihat Dunia

Kompas.com - 28/02/2020, 12:43 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com - Langit Kulon Progo pagi itu, Kamis (27/2/2020) tampak cerah. Meski suhu mencapai 32 derajat, tak menyurutkan semangat para penderita katarak kembali melihat dunia.

Pukul 10.50 WIB, salah satu dari pasien itu, Murtinah keluar dari ruang operasi Rumah Sakit (RS) Nyi Ageng Serang, Kulon Progo, Yogyakarta.

Perempuan berusia 58 tahun itu baru saja selesai menjalani operasi katarak.

Berjalan terhuyung-huyung, ia dituntun seorang perawat untuk istirahat sejenak di pelataran ruang operasi, sebelum kembali pulang.

Baca juga: Operasi Gratis Bebaskan Petani Tua dari Penyakit Katarak

Tanpa keluarga, Murtinah ditemani Mariatun (50), tetangganya yang selama ini setia menemani berobat.

“Istirahat dulu, agak siang saja pulangnya, kalau sudah enggak lemas,” pinta Murtinah pada Mariatun yang menggenggam tangannya memberi dukungan.

Murtinah beberapa kali tampak menghela napas. Sesekali berbincang ringan dengan Mariatun yang mengantarnya ke RS Nyi Ageng Serang sejak pukul empat dini hari.

“Tadi pagi subuh-subuh mbak Mariatun sudah menjemput saya ke rumah,” kata Murtinah kepada Kompas.com.

Baca juga: Kisah Wagiyem, Nenek Penderita Katarak yang Hidup dengan Keterbatasan

Keduanya berboncengan dengan sepeda motor, menerobos dinginnya Kulon Progo yang masih gelap.

Mereka menempuh jarak 26 kilometer dari kediamannya di Desa Garongan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo.

Perjalanan sepagi itu cukup berisiko bagi dua perempuan ini. Meski begitu, apapun dilakukan agar mata Murtinah dapat kembali melihat.

Mereka harus berada di rumah sakit pukul enam pagi untuk mendaftar operasi katarak. Untuk mengganjal lapar, Murtinah hanya berbekal roti tawar yang disiapkan Mariatun.

Baca juga: Berkat Operasi Gratis, Sukarim Kini Bisa Melihat Lagi

Murtinah pergi ke rumah sakit itu tanpa banyak persiapan. Ia pun berpakaian sekadarnya dengan sandal jepit, kemeja hijau yang warnanya tampak memudar, dan celana krem tiga perempat.

Rupanya Murtinah hidup seorang diri, tak memiliki anak maupun suami. Sebagian besar keluarganya menetap di Sumatera.

“Ibu cuma sebatang kara. Enggak punya suami, enggak punya anak,” ungkapnya.

Mata sebelah kanannya masih tertutup perban. Penutup kepala berwarna hijau pun masih melekat menutupi rambutnya

Baca juga: Lewat Iklan Kreatif, Masyarakat Indonesia Diajak Dukung Investasi

Buruh Tani

Sambil berjalan perlahan ke arah lobi rumah sakit, kepada Kompas.com Murtinah membagikan kisahnya.

Khususnya soal katarak yang dialaminya selama dua tahun ini, diakui mengganggu rutinitasnya sebagai buruh tani.

“Awalnya, ibu kira hanya kelilipan tanah. Mata kok rasanya ‘ngganjel’. Seperti ada yang tebal dan berbayang,” tuturnya.

Merasa ada yang tak wajar dengan penglihatannya, Murtinah meminta tolong Mariatun untuk mengantarnya ke klinik. Namun hasilnya nihil.

Baca juga: Rumah Singgah Hidupkan Asa Raka, Anak Penderita Leukemia

“Saya obatkan ke dokter spesialis mata di daerah Purworejo sana. Tapi kok enggak ada perubahan,” kata Mariatun.

Walau mata sebelah kanannya tidak bisa melihat, Murtinah memilih tetap bekerja mengandalkan matanya yang sebelah kiri.

Untuk menghidupi dirinya, ia menggantungkan hidup pada hajatan warga desa saat musim tanam maupun musim panen.

“Kadang panen cabe, kadang panen padi, juga panen melon. Tergantung apa musimnya,” ungkapnya.

Baca juga: Penelitian Tanaman Herbal, Harapan Penderita Penyakit Tak Tersembuhkan

Sebagai buruh tani, penghasilannya pun tak menentu. Ia menerima berapa pun sesuai keikhlasan hati si pemberi kerja.

“Dapatnya ya sekadarnya. Seikhlas orangnya saja. Kadang dikasih Rp 60.000, kadang Rp 70.000, ada juga yang Rp 80.000,” kata Murtinah.

Meski katarak menyulitkannya bekerja, ia mencoba menahan rasa nyeri yang kerap ia rasakan tiba-tiba pada matanya.

“Saya coba enggak terlalu merasakan, walau sebenarnya cekot-cekot. Dipaksa buat kerja,” tukasnya.

Baca juga: Operasi Gratis, Upaya Mengembalikan Senyum Manis Pemuda Timur Indonesia

Dengan penghasilan rata-rata Rp 60.000, Murtinah mengaku tak memiliki cukup biaya untuk berobat.

Kondisi ekonominya yang terbatas menyulitkan dirinya untuk mendapat pengobatan yang layak.

Murtinah bersama Mariatun, tetangganya yang setia menemani operasi katarak. Keduanya berboncengan dengan sepeda motor, menerobos dinginnya Kulon Progo yang masih gelap. Mereka menempuh jarak 26 kilometer dari kediamannya di Desa Garongan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo.
Kompas.com/Yakob Arfin Tyas Sasongko Murtinah bersama Mariatun, tetangganya yang setia menemani operasi katarak. Keduanya berboncengan dengan sepeda motor, menerobos dinginnya Kulon Progo yang masih gelap. Mereka menempuh jarak 26 kilometer dari kediamannya di Desa Garongan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo.

Meski terjaring sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), Murtinah tak bisa berobat menyembuhkan katarak yang dialaminya.

“Sekarang BPJS sudah enggak bisa kasih pengobatan katarak. Katanya jumlahnya sudah dibatasi,” jelas Mariatun yang mengupayakan pengobatan Murtinah hingga ke Yogyakarta.

Baca juga: Cerita Dua Penderita Katarak Bertahan Hidup dalam Keterbatasan

Namun, secercah harapan justru datang dari kepala dusun (kadus) yang mendorong Mariatun untuk mendaftarkan Murtinah sebagai pasien pada bakti sosial (baksos) operasi katarak.

“Kemarin pak kadus yang kasih tahu kalau ada operasi katarak gratis di RS Nyi Ageng Serang, dan meminta saya segera mendaftarkan ibu Murtinah,” katanya.

Diketahuinya, Sido Muncul lah yang menyelenggarakan baksos operasi katarak di Kulon Progo.

“Orang puskesmas enggak tahu kabar ini. Malah pak kadus yang tahu,” ungkapnya.
Murtinah pun mengaku bahagia. Lensa matanya yang memutih, kini digantikan dengan lensa baru sehingga dapat melihat kembali.

Baca juga: Kisah Painah, Berjualan Jamu Gendong di Usia Senja Agar Bisa Makan

“Saya senang. Alhamdulillah diberi bantuan,“ kata Murtinah semringah sembari menahan air di pelupuk mata sebelah kirinya. “Saya enggak bisa balas. Mudah-mudahan yang menolong (Sido Muncul) besok mendapat pahala dari Tuhan,” harapnya.

Dewan Penasehat Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM(K), mendorong semua pihak ikut memikirkan bagaimana membuat sistem rujukan dan sistem penemuan penderita katarak sejak dini.Kompas.com/Yakob Arfin Tyas Sasongko Dewan Penasehat Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM(K), mendorong semua pihak ikut memikirkan bagaimana membuat sistem rujukan dan sistem penemuan penderita katarak sejak dini.

Katarak masalah bersama

Dewan Penasehat Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM(K) yang hadir dalam acara operasi gratis tersebut menuturkan katarak sebagai masalah bersama.

Nila mengatakan, jumlah lansia di Indonesia terus meningkat sehingga angka penderita katarak juga meningkat.

“Tadi saya katakan ada peningkatan 1 persen per tahun. Inilah yang menjadi problem yang harus kita selesaikan dan pikirkan bersama,” ungkap Nila.

Baca juga: Tak Hanya Lansia, Katarak Juga Hantui Penduduk Usia Produktif

Adapun terkait katarak, Nila menjelaskan, bahwa katarak bukan penyakit sehingga kasusnya tidak pernah bisa habis.

“Ini (katarak) terkait dengan usia, regenerasi. Kita pasti suatu hari akan ubanan, rambut kita tumbuh berwarna putih. Lensa mata juga demikian, ia akan menjadi putih seperti halnya uban. Kita tak bisa melihat kalau lensa mata keruh,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Nila, semua pihak harus ikut memikirkan bagaimana membuat sistem rujukan dan sistem penemuan penderita katarak sejak dini.

“Termasuk menjangkau yang tidak bisa dijangkau lewat bakti sosial seperti sekarang bersama Sido Muncul. Ini bagus sekali kerja sama dengan pelaku bisnis,” terangnya.

Baca juga: 5 Dekade Berkiprah di Industri Jamu, Irwan Hidayat Raih Penghargaan dari IJTI Jateng

Perdami sebagai dewan eksekutif, bersama Australia telah mengajukan resolusi kepada World Health Organization (WHO) agar kasus kebutaan menjadi masalah global.

“Menjadi masalah dunia, dan ini diterima. Artinya, dengan diterimanya sebagai masalah global, nanti WHO membuat suat tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh setiap negara,” terang Nila.

Sejak 2011 hingga saat ini, sido Muncul telah melakukan operasi katarak bagi 54.000 ribu pasang mata. Sido muncul memerlukan mitra yang berkomitmen untuk menjalankan misi sosial tersebut, salah satunya Perdami.Kompas.com/Yakob Arfin Tyas Sasongko Sejak 2011 hingga saat ini, sido Muncul telah melakukan operasi katarak bagi 54.000 ribu pasang mata. Sido muncul memerlukan mitra yang berkomitmen untuk menjalankan misi sosial tersebut, salah satunya Perdami.

Komitmen Sido Muncul

Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk Irwan Hidayat mengatakan, setiap pengusaha memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat.

Ia melihat bahwa kesempatan untuk membantu banyak orang di Indonesia begitu luas.

Baca juga: Perjalanan Sido Muncul, Penjualan Pernah Hanya Rp 800.000 per Bulan

“Di negeri ini banyak yang bisa dibantu. Itu yang membuat kami mencari cara bagaimana menolong banyak orang, salah satunya pasien katarak,” kata Irwan.

Sejak 2011 hingga saat ini, lanjut Irwan, 54 ribu pasang mata telah dioperasi dari katarak.

Oleh karena itu, pihaknya memerlukan mitra yang berkomitmen untuk menjalankan misi sosial tersebut.

“Dalam membantu orang itu dibutuhkan partner. Kali ini (kami) kembali kerja sama dengan Perdami dan alumni Fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) angkatan 1983,” terangnya.

Baca juga: Kemenkes Anjurkan Masyarakat Konsumsi Produk Herbal, asal...

Kerja sama itu—menangani operasi katarak gratis— khususnya dengan Perdami sudah dilakukan pada 4.000 penderita katarak selama tahun 2020.

Hal itu diwujudkan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Sido Muncul dan Perdami, serta menyerahkan secara simbolis kepada Wakil Ketua III Pengurus Pusat Perdami Dr. dr. Andi Arus Victor, SpM(K).

“Saya berharap selama masih bisa membantu, selama masih banyak pasien-pasien katarak, Sido Muncul tetap bekomitmen memberikan operasi katarak,” kata Irwan.

Dalam baksos di Yogyakarta kali ini, Sido Muncul dan Perdami menargetkan 75 pasien katarak dapat dioperasi.

Baca juga: Pabrik Jamu Turut Berkontribusi di Era Industri 4.0

Perlu diketahui, sejak 2011, produsen obat herbal tersebut rutin menggelar berbagai kegiatan baksos sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR).


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com