Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musim Hujan di NTT Terlambat, Masyarakat Gelar Ritual Minta Hujan

Kompas.com - 11/02/2020, 12:37 WIB
Dheri Agriesta

Penulis

Sumber Antara

KUPANG, KOMPAS.com - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang menyatakan awal musim hujan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) terlambat hingga dua dasarian dan lebih kering pada 2020.

"Untuk awal musim hujan sendiri, memang ada beberapa zona musim (zom) yang mengalami keterlambatan hingga 20 hari (2 dasarian) dari normalnya," kata Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang Apolinaris Geru di Kupang, Senin (11/2/2020).

BMKG Kupang telah menerima laporan dari sejumlah daerah tentang minimnya curah hujan di NTT. Hal itu membuat sejumlah daerah belum bisa bercocok tanam karena kekeringan.

Baca juga: BMKG Peringatkan Masyarakat Soal Fenomena MJO di NTT

Padahal, dalam kondisi normal, waktu tanam pada lahan kering di NTT jatuh pada akhir November hingga pertengahan Desember.

Sementara akhir musim hujan biasanya jatuh pada akhir Maret atau awal April.

"Untuk awal musim hujan tahun 2019/2020 ini memang mengalami keterlambatan, sehingga berdampak pada musim tanam. Artinya, jika dibandingkan dengan normalnya selama 30 thn, musim hujan tahun ini, umumnya ada pergeseran dua dasarian dan lebih kering," jelas Apolinaris.

Hanya saja, dia tidak memerinci zona mana yang mengalami keterlambatan musim hujan di NTT tahun ini.

Ritual Adat Meminta Hujan

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Mauritius Terwinyu da Cunha mengatakan, masyarakat menggelar ritual adat meminta hujan di wilayahnya.

“Masyarakat, seperti di Kecamatan Kangae, di Watumilok, dan pekan lalu di Tanah Duen sudah menggelar ritual adat meminta hujan,” kata Mauritius ketika dihubungi dari Kupang, Selasa.

Tiga kecamatan itu berada di wilayah utara Kabupaten Sikka. Wilayah itu dilanda kekeringan sehingga tanaman menjadi layu dan stres.

Kekeringan itu, lanjutnya, juga mengakibatkan serangan hama ulat grayak menyebar dengan cepat dan merusak ribuan hektar tanaman milik petani.

“Mudah-mudahan dengan pendekatan kearifan budaya lokal seperti ini bisa turun hujan sehingga tanaman petani tidak rusak total,” katanya.

Mauritius menjelaskan berdasarkan prakiraan BMKG, wilayah Sikka diguyur hujan pada dasarian II, yakni Desember 2019 hingga puncaknya pada Januari-Februari 2020.

Baca juga: Menyelisik Sejarah Chung Hua School Jember, Sekolah Arsitek RS Khusus Corona

“Tapi ternyata meleset semua. Di wilayah utara Sikka masih sangat kering dibandingkan dengan wilayah tengah dan selatan,” katanya.

Hama ulat grayak juga telah menyerang 2.540 hektar lahan jagung milik petani di wilayah itu.

“Jadi hanya hujan saja yang bisa menyelamatkan kondisi ini, karena itu masyarakat sudah melakukan ritual adat meminta hujan sehingga kita berharap terwujud,” jelas Mauritius.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Antara
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com