Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Anies, Risma, Fanatisme Politik, dan Kasus Penghinaan Zikria Dzatil

Kompas.com - 10/02/2020, 11:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


PILPRES 2024 masih jauh tapi bara politiknya sudah mulai memeletik. Kasus hukum murni terkait fanatisme politik sudah mulai bergulir.

Sebelum bercerita tentang kasusnya, saya ingin menjabarkan sedikit soal persaingan di alam bawah sadar para pendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Bawedan dan Wali Kota Surabaya Tris Rismaharini yang diprediksi akan bertarung pada sebuah kontestasi di suatu waktu nanti.

Anda ingat soal kunjungan DPRD DKI Jakarta pada pertengahan 2019 lalu? Baca juga: Kaleidoskop 2019, Polemik Risma dan Anies Baswedan soal Sampah

Pasca-kunjungan itu ada diskusi hangat soal perbandingan pengelolaan sampah Pemprov DKI Jakarta dan Kota Surabaya. Publik juga mendiskusikan soal nilai APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Jakarta dan Surabaya.

Setelah diskusi soal pengelolaan sampah, komparasi antara Jakarta dan Surabaya kembali mengemuka di awal tahun ini ketika curah hujan yang super tinggi membuat Jakarta banjir.

Jakarta lebih dulu banjir. Surabaya menyusul di pertengahan Januari.

Pendukung Anies dan Risma pun saling hujat di media sosial. Surabaya dielu-elukan karena cepatnya air banjir surut. 

Sementara yang lain berpendapat Surabaya tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan Jakarta mengingat wilayah Jakarta yang jauh lebih besar dan beban belasan sungai di jakarta yang berkali lipat dibanding daerah lainnya.

Sadar atau tidak, rivalitas antara pendukung kedua sosok ini makin tajam. Setiap ada kejadian, pikiran alam bawah sadar para pendukung langsung membandingkan keduanya.

Hukum dan logika fanatisme politik elektoral

Jika ekspresi fanatisme masih berada dalam tataran kritis konstruktif, tentu itu positif. Tapi, jika ungkapan fanatisme masuk dalam kategori penghinaan atau ujaran kebencian yang membawa-bawa isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), itu adalah hal luar biasa.

Setidaknya ada dua aturan hukum yang menanti, yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dua pasal KUHP yang bisa disematkan adalah soal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian terkait SARA. Kelompok politik bisa dimasukkan dalam kategori antar-golongan.

Kasus ujaran kebencian terkait antar-golongan ada yurisprudensinya: kasus Ahmad Dhani.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com