DENPASAR, KOMPAS.com - Provinsi Bali resmi menerbitkan peraturan tata kelola minuman fermentasi khas Bali seperti arak, tuak, dan brem.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Distilasi Khas Bali.
Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan, pergub ini dikeluarkan untuk melindungi dan melestarikan minuman fermentasi khas Pulau Dewata.
"Minuman fermentasi atau distilasi khas Bali salah satu sumber daya keragaman budaya Bali yang perlu dilindungi, dipelihara, dikembangkan," kata Koster, di Denpasar, Rabu (5/2/2020).
Koster menambahkan, peraturan ini sudah disetujui Kementerian Dalam Negeri dan diundangkan pada Rabu (29/1/2020).
Baca juga: Ini Alasan Prabowo Tak Undang Jokowi pada HUT Gerindra
Pergub ini terdiri dari 9 bab dan 19 pasal, yang meliputi pelindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, kemitraan usaha, promosi, dan branding.
Lalu, pembinaan dan pengawasan serta peran serta masyarakat, sanksi administratif, dan pendanaan.
Dalam Pergub diatur pemberian label atau branding arak atau brem Bali dalam produk-produk fermentasi tersebut.
Sehingga, konsumen mengetahui proses produksi minuman fermentasi itu masih menggunakan cara tradisional.
Aturan itu juga melarang penggunaan bahan baku mengandung alkohol dalam pembuatan minuman fermentasi.
Brem dan arak Bali untuk acara keagaman juga harus diberi label merah bertuliskan 'hanya untuk keperluan upacara kegamaan'.
Masyarakat yang melaksanakan upacara keagamaan dapat membeli brem atau arak paling banyak lima liter dengan menunjukkan surat keterangan dari Bendesa Adat.
Kemasan arak khusus itu menggunakan jeriken dengan ukuran maksimal satu liter.
Penjualan
Pergub itu juga mengatur pengemasan dan penjualan minuman fermentasi itu.