Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancam Satwa Endemik, Walhi Imbau Izin 9 Perusahaan HTI Ditinjau Ulang

Kompas.com - 20/01/2020, 12:43 WIB
Heru Dahnur ,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

PANGKAL PINANG, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung mendesak pemerintah untuk meninjau ulang izin usaha sembilan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung Jessix Amundian mengatakan, keberadaan HTI terus menuai konflik di tengah masyarakat.

"Pada 2020 ini konflik kembali terjadi antara masyarakat Desa Labu Kecamatan Mendo Barat dengan pemegang HTI seluas 30.773 hektare," kata Jessix dalam keterangan tertulis, Senin (20/1/2020).

Dia menuturkan, pemda terkesan lepas tanggung jawab menyikapi konflik yang selama ini muncul antara masyarakat dengan perusahaan HTI.

Baca juga: Hutan Taman Nasional Sebangau Terbakar, Satwa Endemik Terancam

"Keberadaan Usaha Kehutanan Monokultur HTI di Babel selama ini tidak berangkat dari prinsip FPIC (Free, Prior, informed and concent). Masyarakat berhak menerima atau menolak tanpa paksaan melalui musyawarah mufakat karena masyarakatlah yang akan menerima dampak langsung dari aktifitas perusahaan tersebut," ujar Jessix.

WALHI Babel mencatat, dalam rentang waktu dari 2014-2019 telah terjadi konflik dan penolakan terhadap Hutan Tanaman Industri di kampung-kampung yang tersebar di 6 wilayah kabupaten di Bangka Belitung.

Konflik lahir karena izin IUPHHK-HTI diberikan kementerian tanpa melalui proses dan tahapan FPIC.

Sehingga diduga menyerobot wilayah kelola rakyat. Ada 9 perusahaan pemegang IUPHHK-HTI di Babel dengan total luas 659.014 hektar.

"Izin-izin tersebut keluar tanpa mempertimbangkan tata ruang wilayah dan beban daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang kualitasnya terus menurun dan berada pada titik nadir darurat ekologis yang harus segera diselamatkan dan dipulihkan," tutur Jessix.

Baca juga: Walhi Temukan 6.000 Lubang Tambang Timah di Babel, Sebut 26 Orang Tewas di Tambang Sepanjang 2019 di Babel

Di Babel sejak dulu, kearifan lokal telah berkembang secara turun temurun di masyarakat dalam memanfaatkan, mengelola dan menjaga hutan agar tetap lestari.

Hal ini terbukti adanya habitat hutan kampung, hutan larang dan kelekak. Namun, kearifan lokal tersebut perlahan terus tersingkir semenjak kebijakan industri ekstraktif yang secara terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam untuk komoditas pasar.

Selain masyarakat kehilangan wilayah kelolanya, HTI menyebabkan hilang dan menurunnya fungsi DAS yang berdampak kekeringan dan susahnya mengakses air bersih melalui air permukaan tanah.

Rentannya terjadi karhutla skala luas, perubahan bentang alam dan putusnya rantai makanan fauna serta hilangnya berbagai jenis tanaman obat masyarakat (Apotik Kehidupan) dan tanaman endemik khas lokal.

Baca juga: Terjadi Lagi, Warga Selapan yang Tinggal di Air Hitam Diminta Tinggalkan Babel

Begitu pun dengan jenis hewan endemik lokal yang secara undang- undang dilindungi seperti tupai besar (gerabak) rangkong, napo, musang besar dan menturun.

Walhi menilai konsep HTI saat ini bukanlah "hutan" dan juga bukan bagian dari paru-paru bumi.

Sifat dari bidang usaha kehutanan ini adalah tanaman monokultur yang diproduksi untuk komoditas pasar.

Sedangkan ciri yang melekat dari hutan adalah keberagaman hayati baik flora dan fauna, sumber melimpahnya oksigen, dan perisai bencana.

"HTI bukanlah hutan dan sudah pasti bukanlah ekosistem yang berkelanjutan. Mengembalikan pengelolaan hutan tersebut ke masyarakat berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat melalui perhutanan sosial adalah solusi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan serta kesejahteraan masyarakat lokal setempat bukan dengan HTI," jelas Jessix.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com