KOMPAS.com – Ari Wayangkau (18 tahun) bergegas. Setengah berlari ia mengambil jas, mengenakannya, kemudian mematung dengan sorot mata fokus pada layar laptop.
Di sampingnya telah duduk sejumlah penguji dari pihak SMK Bakti Karya Parigi ataupun perguruan tinggi. Tak berapa lama, Ari dipanggil.
Dengan langkah mantap, siswa kelas 3 SMK Bakti Karya Parigi ini maju ke depan, mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan hasil magangnya sebagai fotografer di salah satu perusahaan di Kamojang, Garut.
Laporan dan presentasi siswa asal Mariadei Papua ini dipuji penguji. Selain bisa mengaplikasikan ilmunya di dunia kerja, Ari dinilai mampu menerapkan nilai multikulturalisme yang diperolehnya di sekolah.
Seperti saat kerusuhan Papua pecah Agustus-September 2019, rekan kerja hingga atasan Ari menyemangatinya untuk fokus bekerja.
Baca juga: Pendidikan Multikultural untuk Pembumian Pancasila
Ari pun, tak terbersit dalam pikirannya untuk pulang ke Papua. Ia merasa aman ada di Jabar karena tahu karakter orang-orangnya. Orang Jabar pun menerima dia apa adanya.
“Kalau kamu baik, orang lain pun baik. Kalau ada yang ngomporin, pakai nalar apa yang dipelajari di sekolah (toleransi),” tuturnya.
Nilai-nilai itu ia katakan juga pada adik kelasnya saat kerusuhan Papua berlangsung. Sebab beberapa adik kelasnya yang baru datang ke Pangandaran meminta pulang. Mereka resah, tak tenang, bahkan ada yang menangis ingin kembali ke Papua.
“Bukan hanya saya, lulusan sini yang sekarang ada di Jakarta juga ke Pangandaran untuk menenangkan adik kelas. Kami berkata, sudah bertahun-tahun kami di sini. Orang sini baik, mereka saudara kita. Pulang ke Papua pun belum tentu aman,” imbuhnya.
Baca juga: Indonesia dan Akomodasi Multikultural
Orang timur menilai orang Jawa lebay, tidak terdengar, santai, dan lainnya. Begitupun orang Jawa menganggap orang timur, sangar, berisik, dan terlihat tua.
Apalagi untuk orang-orang yang dibesarkan dalam lingkungan konflik. Seperti Ismail Rumaru siswa asal Ambon, Maluku.
Konflik antaragama yang terjadi di daerahnya membuat rasa benci dan marah pada umat Kristiani tertanam dalam dirinya.
Itulah mengapa selama di Pangandaran ia sulit bergabung dengan orang Kristiani. Konflik kecilpun bisa dibesar-besarkan.
Lambat laun, seiring seringnya berbaur dan komunikasi, anggapannya terhadap orang Kristiani berubah.