BANDUNG, KOMPAS.com - Anjloknya harga tomat di pasaran beberapa tahun lalu sempat membuat petani tomat menjerit.
Padahal, saat itu petani tengah menikmati hasil panen yang melimpah.
Di balik melimpahnya hasil panen saat itu bukan memberikan keuntungan materi para petani, tapi malah sebaliknya.
Hasil panen tidak dapat dinikmati, malah cenderung dibiarkan membusuk dan berserakan jatuh di tanah.
Ini merupakan salah satu bentuk protes petani.
Baca juga: Kisah Anwar, Merintis Usaha Gula Semut Sejak SMA, Kini Miliki Omzet Ratusan Juta Per Bulan
Namun, siapa sangka cara protes ini mampu dijadikan sebuah atraksi yang menarik. Mulai muncul ide untuk menggelar perang tomat.
Di Jawa Barat, tepatnya di Kampung Cikareumbi RW 03 Desa Cikidang Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, kondisi itu menjadi ide bagaimana para petani meluapkan kekecewaan, mengekspresikannya dengan pendekatan seni-budaya yakni menggelar perang tomat.
Harapan agar dapat mengenalkan potensi seni-budaya, alam, dan hasil pertanian warga sekitar. Kegiatan ini pun dilakukan sampai saat ini.
Sejak Minggu (13/10/2019) pagi, warga Kampung Cikareumbi tampak ramai berkerumun dan menyisakan jalanan yang sengaja dikosongkan sebagai arena peperangan.
Arena peperangan itu dibatasi sawen (daun kawung) dan bebetek (jajanan khas kampung) yang menggantung berjajar sepanjang jalan.
Sebelum masuk ke acara inti, rangkaian kegiatan berupa parade arak-arakan hasil bumi menarik perhatian warga.
Sejumlah sayuran dan buah-buahan yang telah ditata semenarik mungkin di arak bersamaan dengan tabuhan kendang yang menggema mengiringi.
Tembang karawitan mulai mengalun keras, sebagai penanda perang tomat akan berlangsung.
Warga di sekitar kemudian mulai mencabut bebetek yang menggantung di sepanjang jalan.
Sebelum mulai, gadis Kampung Cikareumbi yang telah berdandan cantik kemudian memasuki arena, melaksanakan upacara Ngajayak Topeng (membawa topeng).