Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cakupan Pengobatan HIV-AIDS Indonesia Terburuk di Asia Pasifik

Kompas.com - 15/09/2019, 16:47 WIB
Reni Susanti,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


BANDUNG, KOMPAS.com - Cakupan pengobatan ARV untuk AIDS di Indonesia baru 17 persen. Angka tersebut menjadi yang terburuk di Asia Pasifik, bahkan dunia.

“Hanya 140.000 orang dengan HIV dalam pengobatan ARV. Artinya, ada 500.000 lainnya belum ada dalam pengobatan, bahkan masih belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana, saat dihubungi, Minggu (15/9/2019).

Capaian buruk ini, sambung Aditya, dipengaruhi banyak faktor. Seperti kurangnya political will dari pemerintah dan layanan untuk memberlakukan test and treat.

Kemudian, keterlambatan dalam mengadopsi pembelajaran terbaik dari negara lain yang nyata-nyata mendukung program AIDS.

Baca juga: Januari hingga Juni 2019, Ada 14 Pengidap HIV/AIDS Baru di Lamongan

Lalu, tingginya stigma dan diskriminasi kepada kelompok terdampak AIDS seperti orang dengan HIV, pekerja seks, LGBT, pengguna narkotika, perempuan dan anak, hingga mahalnya obat ARV yang dibeli pemerintah Indonesia dari industri farmasi BUMN.

Untuk itu, Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi kelompok aktivis kesehatan menyerukan agar Menkes segera melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS, termasuk pelaksananya.

“Dengan hanya 17 persen cakupan obat ARV, tidak heran jika angka kematian akibat AIDS berdasarkan permodelan akan terus meningkat sampai dengan 2020 nanti,” tutur dia.

Aditya menuturkan, UNAIDS sebagai badan PBB yang bertanggung jawab untuk program AIDS, membuat permodelan di mana diestimasikan kematian akibat AIDS akan meningkat dari 45.000 pada 2018 menjadi 48.000 di tahun 2020.

“Angka ini akan terus meningkat seiring dengan rendahnya cakupan ARV pada ODHA,” tutur dia.

IAC menilai, dengan cakupan ARV yang rendah, potensi penularan akan menjadi tinggi karena obat ARV selama ini diyakini secara ilmiah mampu mencegah penularan HIV baru.

Masih banyak prosedur yang dijalankan oleh layanan kesehatan sebelum memberikan obat ARV kepada ODHA, diyakini turut memicu rendahnya cakupan pengobatan ARV.

Sabam Manalu, Kordinator Advokasi dan Hak Asasi Manusia IAC mengatakan, begitu seseorang tahu status HIV, berdasarkan evidence global, ODHA harusnya langsung diberikan ARV.

“Namun, faktanya, ODHA masih diminta untuk melakukan tes-tes penyerta lain sebelum bisa diberikan obat ARV sementara, semestinya tes-tes ini bisa dilakukan belakangan,” imbuh dia.

ODHA di Indonesia sendiri tergolong kurang beruntung di dunia. Sebab, pengobatan ARV yang diberikan masih menggunakan jenis-jenis regimen obat ARV yang jadul seperti regimen AZT.

AZT telah dipergunakan sejak 1960-an sebagai obat kanker dan telah digunakan sebagai terapi HIV di tahun-tahun awal epidemi AIDS ditemukan di dunia tahun 1980-an.

Baca juga: Kisah Isye yang Tertular HIV dari Suami, Ingin Banting Kaca hingga Bangkit lewat Sepak Bola

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com