Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pemimpin Pesantren Bela Hak Waria hingga Raih Penghargaan Pejuang HAM

Kompas.com - 26/07/2019, 07:00 WIB
Markus Yuwono,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Di salah satu gang sempit di Jagalan, Kotagede, Kecamatan Banguntapan, Bantul, terdapat rumah berarsitektur Jawa berwarna hijau. Ya, itulah rumah Shinta Ratri, pimpinan Pondok Pesantren Al Fatah.

Rumah Shinta dijadikan sebagai tempat belajar agama bagi para waria.

Saat KOMPAS.com menyambangi rumah itu, Kamis (26/7/2019), kami disambut oleh seorang wanita paruh baya. Saat bertanya tentang keberadaan Shinta, dengan ramah kami pun dipersilakan masuk dan menunggu di rumah bagian belakang.

Baca juga: Kisah Herayati, Anak Pengayuh Becak Lulusan ITB Dilamar Jadi Dosen di Untirta

Di sana ada halaman yang cukup luas untuk ukuran rumah di Kotagede.

Sebelum masuk melewati lorong rumah, terdapat kursi dan meja layaknya sekolah. Ternyata kursi dan meja itu digunakan oleh para waria untuk belajar. 

Setelah menunggu beberapa saat, Shinta pun keluar. Menggunakan hijab warna cokelat dan tas tangan, Shinta dengan ramah meladeni kami ngobrol santai.

Shinta mendapatkan penghargaan dari Front Line Defenders, sebuah organisasi internasional untuk perlindungan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbasis di Irlandia. Ia pun menunjukkan plakat berbentuk persegi panjang. 

Shinta bercerita, penghargaan itu awalnya akan diberikan pada 17 Juli 2019 di Kedutaan Besar Irlandia untuk Indonesia yang berada di Jakarta. Namun, perwakilan Front Line Defenders mendatanginya di pesantren pada 19 Juli 2019. 

"Ini saya mewakili region Asia Pasifik. Setiap tahun Pemerintah Irlandia itu mengeluarkan penghargaan untuk orang di seluruh dunia, mereka akan memilih dari lima benua," kata Shinta membuka percakapan.

Awal Oktober, dirinya juga akan diundang ke Dublin, Irlandia. Shinta diundang bersama perwakilan tokoh pejuang HAM yang mendapatkan penghargaan yang sama.

Sebenarnya Shinta diundang ke PBB pada Juni 2019. Namun, karena belum memiliki paspor, Shinta diwakilkan seorang temannya yang tinggal di Amerika. 

Menyatukan waria

Shinta menceritakan perjuangannya agar waria mendapatkan hak untuk beribadah. Ini bukan perkara mudah.

Awalnya, ponpes waria ini berdiri di Notoyudan, Kota Yogyakarta, dengan menempati rumah kontrakan. Pesantren itu kemudian pindah di kawasan Kotagede pada 2014.

Pada 2016, pendirian ponpes sempat menjadi pro dan kontra di masyarakat. Bahkan sempat vakum empat bulan untuk menghilangkan trauma. Sampaii akhirnya kembali berkegiatan.

"Karena kita bisa memperjuangkan hak kami sebagai manusia yang memiliki hak yang sama, dan kita mencari penguatan di pemerintah lokal dan nasional itu ke Komnas HAM, Komnas Perempuan dan jaringan Gusdurian," katanya.

Baca juga: Kisah Dokter Gigi Romi, Gagal Jadi PNS karena Penyandang Disabilitas

"Dan akhirnya membuka kembali, itulah akhirnya yang mereka lihat. Kita tidak boleh tinggal diam dan menyerah ketika hak asasi kita terlanggar, baik oleh siapapun dengan alasan apapun," ujarnya. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com