Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Isye, Tertular HIV, Melawan Stigma, hingga Wakili Indonesia di HWC

Kompas.com - 25/07/2019, 12:26 WIB
Reni Susanti,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com — Isye Susilawati menghela napas. Pikirannya menerawang ke masa lalu, saat-saat terberat dalam hidupnya, akhir 2005 silam.

Tahun itu, Isye divonis HIV positif. Ia tertular dari suaminya, pengguna narkoba dengan jarum suntik.

Mendapat vonis itu, Isye terpukul. Ia minder, tidak percaya diri, jatuh terjerembab, dan merasa hampa.

Apalagi, selama ini ia merasa tidak pernah berbuat aneh, nakal, atau melakukan hal-hal berisiko tinggi yang bisa membuatnya terkena HIV.

Baca juga: Terdapat 949 Kasus HIV/AIDS di Kendal, Kaliwungu Tertinggi

“Berat banget untuk mengakui dan menerima saya HIV positif. Butuh waktu dua tahun untuk saya bisa menerima ini,” ujar Isye kepada Kompas.com di Bandung, belum lama ini.

Puncaknya, saat ia mengalami diare akut dan kandidiasis oral selama tiga pekan. Berat badannya turun 23 kilogram dari 50 kilogram menjadi 27 kilogram.

Badannya yang kurus kering membuatnya enggan melihat kaca. Kalau melihat kaca, bawaannya ingin membanting kaca tersebut.

Saat-saat terberat ini dilaluinya bersama keluarga, terutama anaknya yang saat itu masih berusia 5 tahun. Anak terbesarnya inilah yang merawat Isye.

Saat ia merintih kesakitan karena penyakitnya, sang anak yang memberinya obat. Semakin besar, anaknya pula yang mengingatkan Isye untuk meminum ARV dan cek rutin ke dokter.

Baca juga: Sepenggal Cerita Lingkaran Setan Narkoba, HIV, dan Seks Tak Aman

“Dia yang tahu saya saat ngedrop. Dia yang selalu memberikan obat. Dia yang menjadi motivasi saya untuk bertahan sampai sekarang. Dia pernah berkata, Bunda harus bisa melihat kakak sampai dewasa, kuliah,” ungkap Isye, dengan mata berkaca-kaca.

Berkat anaknya, ia bisa menerima penyakitnya dengan ikhlas tanpa merasa benci pada suaminya. Sebab, pada awal divonis HIV, kerap ada kalimat, “Gara-gara kamu (suaminya), saya jadi seperti ini”.

Namun, semakin lama, ia melihat rasa dendam terhadap suami tidak akan menyelesaikan masalah. Rasa minder yang menderanya pun tidak akan mengubah status HIV positifnya.

Ia pun mulai membuka status kepada orang lain. Ada yang mendukung, ada pula yang malah memberikan stigma.

“Orang tahu saya tertular dari suami. Tapi, suka ada orang yang berkarta, kamu dulunya nakal sih dan lain-lain,” ucap dia.

Meski stigma kerap menghampiri perjalanan hidupnya, ia bertekad menjalani hidup dengan bekerja dan mengurus keluarga.

Baca juga: Stop Diskriminasi Anak dengan HIV di Sekolah

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com