Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Petani di Desa Terpencil: Merantau ke Jakarta Saat Kemarau, Kembali Bertani Saat Penghujan

Kompas.com - 08/07/2019, 10:17 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

GROBOGAN, KOMPAS.com - Krisis air akibat kemarau melanda Desa Suwatu, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah sudah lebih dari dua bulan terakhir.
 
Sungai setempat yang menjadi sumber air bagi masyarakat telah mengering. Begitu juga dengan sumur tadah hujan yang menjadi andalan warga yang berangsur kian menyusut.
 
Desa yang berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini adalah salah satu desa di wilayah Kabupaten Grobogan yang juga mengalami kekeringan paling parah.
 
Bahkan, lahan pertanian di desa terpencil ini sudah tidak difungsikan akibat tak ada lagi pasokan air.
 
 
Tercatat, sudah dua bulan aktivitas bertani tidak lagi sering ditemui di desa yang dihuni oleh sekitar 2.500 jiwa ini.
 
Para warga yang mayoritas petani memilih merantau ke daerah lain saat kemarau supaya bisa terus menyambung hidup.
 

Beralih profesi untuk menyambung hidup

 
Beralih profesi saat kemarau memang sudah menjadi kebiasaan para petani Desa Suwatu.
 
"Mayoritas penduduk Desa Suwatu adalah petani, namun saat kemarau mereka beralih profesi sebagai buruh bangunan di Jakarta dan sebagainya," tutur Sekretaris Desa Suwatu, Suparmo (58) saat ditemui Kompas.com, Kamis (4/7/2019).
 
"Sudah dua bulan ini kebanyakan warga merantau. Nanti saat musim penghujan baru balik ke kampung lagi. Lha mau gimana lagi, tidak ada air untuk mengairi sawah. Ini sudah kebiasaan kami sejak dulu." 
 
 
Bagi warga yang sudah berusia lanjut, aktivitasnya saat kemarau diganti dengan beternak dan cukup mengandalkan sisa tabungan yang ada.
 
Sementara bagi warga yang lainnya terpaksa meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan lain.
 
"Selama belum musim penghujan ya sawahnya mangkrak. Mau ditanami jagung dan sejenisnya tetap mati karena memang tak ada air,"  ungkap Suparno yang juga petani ini.
 
"Total ada 150 areal persawahan yang mangkrak saat kemarau. Untuk kebutuhan air dari sumur tadah hujan sudah menipis, nanti kalau habis, kami membuat belik."
 
Petani desa Suwatu lainnya, Jumari (55), mengatakan, saat kemarau idealnya para petani diarahkan untuk bertanam palawija.
 

Saat kemarau, palawija gagal, jagung pun puso...

Hanya saja, metode seperti itu tidak berhasil saat sumber air untuk mengairi sawah tak ada lagi.
 
Jumari berujar jika areal perawahannya yang telah ditanami jagung mengalami puso akibat kekeringan. Ia dan sejumlah petani lainnya mengaku telah mengalami kerugian jutaan rupiah.
 
"Dalam satu hektar bisa panen 3 ton jagung dengan hasil Rp 5 juta. Namun saat kemarau kami hanya bisa gigit jari," ujar Jumari.
 
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan, Edhie Sudaryanto, mengatakan, di Kabupaten Grobogan ada sekitar 70.000 hektar areal persawahan.
 
 
 
Saat kemarau berkepanjangan berdampak buruk bagi pertanian di sejumlah desa yang krisis air.
 
"Selama ini kami terus bersosialisasi kepada para petani terkait metode pertanian modern. Jangan memaksakan bertanam padi saat kemarau dengan mengikuti pola tanam yang baik," kata Edhie. 
 
"Namun kemarau di daerah krisis air adalah tugas yang berat. Saat kemarau ada sekitar 10 ribu areal persawahan di 13 Kecamatan termasuk Kecamatan Gabus yang terancam puso. Ini ada pekerjaan rumah kami." 
 

78 desa dilanda kekeringan

 
Kepala BPBD Kabupaten Grobogan Endang Sulistyoningsih mengatakan, berdasarkan data terbaru, sudah ada 78 desa di 11 kecamatan yang mengalami krisis air akibat kemarau.
 
Dari 11 kecamatan ini, ada 3 kecamatan yang tingkat kekeringannya dinilai paling parah. Yakni, Kecamatan Gabus, Kradenan, dan Kedungjati.

"Saat ini krisis air akibat kemarau melanda 78 desa," kata Endang. 

Baca juga: Pipa dan Ban Dalam Bekas Disulap Jadi Pompa Air Non-listrik untuk Atasi Kekeringan

Pertengahan Juni ini BPBD Kabupaten Grobogan sudah mulai melakukan droping air bersih ke sejumlah desa yang dilanda bencana kekeringan.  

Dalam penyaluran bantuan air bersih ini, pihaknya memiliki anggaran sekitar Rp 47 juta. Dana sebanyak ini, kata Endang, hanya bisa digunakan untuk menyalurkan bantuan sekitar 236 tangki saja.

"Bertahap kami droping air. Total ada 236 tangki air bersih yang disiapkan untuk pelaksanaan dropping air tahap awal ini. Ini tentunya kurang," katanya. 

"Kami berharap dukungan semua pihak swasta dan sebagainya. Sebab kekeringan terjadi tiap tahun. Pada tahun 2018 lalu, ada 92 desa di 15 kecamatan yang mengalami bencana kekeringan." 

Baca juga: Kisah Nenek Nur Selamatkan Cucunya saat Banjir di Gowa, 3 Jam Peluk Batang Pohon

 
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com