Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Weh Huweh di Demak, Bebas Bertukar Makanan Saat Ramadhan...

Kompas.com - 25/05/2019, 22:42 WIB
Ari Widodo,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

DEMAK, KOMPAS.com - Untuk menyambut hari ke-21 pada bulan Ramadhan atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan malam likuran, Demak punya cara tersendiri.

Kota Wali di Jawa Tengah yang pernah menjadi pusat peradaban Islam pada awal masa penyebarannya ini menyimpan tradisi Weh Huweh yang tak lekang digerus zaman.

Baca juga: Tradisi Kambua-kambua, Melantunkan Syair Kuno Buton di Pertengahan Ramadhan

Tradisi yang juga disebut Weh wehan ini merupakan tradisi bertukar makanan yang disajikan di depan rumah masing-masing.

Momen Weh Huweh biasa digelar lepas shalat maghrib hingga menjelang isya. Makanan yang ditukarkan sesuai dengan ciri khas keluarga masing-masing. 

Tradisi Weh Huweh berpusat di sepanjang Jalan Sampangan hingga Domenggalan, Kelurahan Bintoro, Demak.

Baca juga: 6 Tradisi Ramadhan Masyarakat Jakarta yang Semakin Sulit Ditemukan

Permukiman padat penduduk itu terlihat semarak oleh lalu lalang masyarakat yang saling menyapa sambil menukarkan berbagai bentuk sajian.

Senyum ceria menghiasi raut setiap yang terlibat. Di kanan kiri, terlihat juga balon warna-warni yang menambah ceria suasana. 

Turun temurun

Ahmad Zaky Mubarok, tokoh masyarakat setempat yang lahir dan dibesarkan di Kota Wali Demak, menuturkan, tradisi Weh huweh sudah dilakukan turun temurun. Tidak jelas juga siapa yang memulainya.

“Entah kapan tradisi ini ada dan siapa yang memulai. Yang jelas, menurut saya, tradisi Weh Huweh adalah baik karena mengajarkan anak untuk saling berbagi, saling memberi atau bertukar jajan-makanan antar tetangga dan saudara juga melatih anak atau seseorang berbuat jujur dan menjalin silaturahim,” kata Zaky, Sabtu (25/5/2019).

Baca juga: Sejak 1928, Ada Tradisi Dentuman Meriam Penanda Berbuka di Rangkasbitung 

Weh Huweh di Demak menjadi menarik karena untuk memberi atau mengambil makanan tak harus ada si empunya rumah. Makanan sudah disajikan di tempat yang terjangkau baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Jadi siapa pun bisa mengambil dan menaruh makanan sesuai keinginannya. Di sinilah terlihat kejujuran, tidak ada yang saling mencurangi, misalnya hanya mengambil tanpa memberi.

Semua warga sudah yakin bahwa tradisi Weh huweh menjadi salah satu bekal untuk menuju Malam Seribu Bulan atau Lailatul Qodar.

“Tradisi Weh Huweh menjadi satu momentum silaturahmi, tak ada saling menjahati atau menyakiti, di sini silaturahim menjadi kembali tulus, saling memberi tanpa pamrih, tanpa memilih siapa yang disukai siapa yang tidak disukai,“ ujarnya.

Baca juga: Azan Pitu, Tradisi Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Sejak Zaman Wali Sanga

Tradisi Weh Huweh juga menjadi sebuah ajang netralisir kepentingan. Sebab di sini siapapun berhak memberi dan menerima makanan yang ada tanpa pembatasan kasta. Hanya kejujuran dan tenggang rasa yang mewarnai.

Keindahan ini lalu ditutup selepas maghrib dengan memulai itikaf di tempat-tempat ibadah untuk mencari berkah Ramadhan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com