Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: Jika Presiden Tak Diakui, DPR dan DPRD Tak Berhak Terima Gaji

Kompas.com - 16/05/2019, 11:09 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Ketua Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma'ruf Amin Jawa Barat, Dedi Mulyadi kembali menyindir kubur Prabowo-Sandiaga terkait seruan agar pendukung nomor urut 02 ini tidak mengakui pemerintah dan tidak membayar pajak.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono meminta agar pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak perlu mengakui pemerintah yang terbentuk pada periode 2019-2024.

Menurut Arief ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pendukung Prabowo-Sandiaga. Pertama, dengan menolak membayar pajak kepada pemerintah. Sebab, pemerintah yang terbentuk dari penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sah.

Dedi menilai, seruan tersebut tidak bisa dilaksanakan karena akan berdampak luas pada segala bidang.

"Kalau pemerintah yang sah tidak diakui dan kemudian warga diajak tidak usah membayar pajak, lalu anggota DPR dan DPRD dari partai oposisi tidak berhak mendapat gaji," kata Dedi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (16/5/2019).

Baca juga: Waketum Gerindra Minta Pendukung Prabowo Tak Akui Hasil Pilpres 2019

Menurut Dedi, gaji dan tunjangan untuk anggota DPR dan DPRD berasal dari Kementerian Keuangan yang disalurkan melalui Sekretariat Jenderal DPR RI dan Sekretariat Dewan. Kalau pemerintah tidak diakui, otomatis kementeriannya pun tak diakui dan dianggap tidak sah. Maka, kata Dedi, gaji yang diterima pun tidak akan sah.

"Jadi nanti uang gaji yang diperoleh oleh anggota DPR dan DPRD pun ilegal itu," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.

Dampak lain dari seruan untuk tidak mengakui pemerintah yang sah adalah terkait administrasi kependudukan. Menurut Dedi, kartu tanda penduduk (KTP) itu ditandatangani oleh pejabat negara. Ketika presiden tidak diakui, maka pengangkatan pejabat negara itu juga tidak sah. Artinya, kegiatan yang legalitasnya menggunakan KTP berarti tidak sah.

"Salah satunya adalah transaksi perbankan pun tidak sah karena KTP-nya ilegal," kata mantan bupati Purwakarta 2 periode ini.

Sebelumnya, Dedi Mulyadi juga mengkritik kubu Prabowo yang menolak hasil Pemilu 2019. Dedi menilai, sikap kubu Prabowo yang menolak hasil Pemilihan Umum 2019 berarti juga tidak mengakui perolehan suara calon legislatif semua partai, termasuk dari Gerindra.

Dedi mengatakan, Pemilu 2019 itu dilaksanakan satu paket kegiatan yang dipertanggungjawabkan oleh lembaga penyelenggara bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari pusat, provinsi hingga tingkat KPPS. Pengawasanya pun dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan hingga tingkat kelurahan/desa.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Kalau Menolak Hasil Pemilu, Berarti Tak Mengakui Hasil Pileg

 

Ketika hasil pemilu itu dianggap curang, kata Dedi, maka pemahaman itu berlaku paralel, yatu berlaku bagi pemilihan presiden, DPD, DPR RI hingga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Sehingga pengakuan atau penolakan terhadap hasil pemilu, berarti penolakan terhadap satu paket kegiatan. Bukan hanya penolakan terhadap hasil pilpres, tetapi juga hasil pemilihan DPD dan anggota legislatif dari pusat sampai daerah. Berarti konsekuensinya menolak hasil pileg di berbagai daerah," kata Dedi kepada Kompas.com, Rabu (15/5/2019). 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com