Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Bata Merah Panjunan, Simbol Akulturasi Budaya dan Agama di Cirebon

Kompas.com - 15/05/2019, 10:28 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Rachmawati

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com – Nasirudin, Dewan Kemakmuran Masjid Bata Merah Panjunan, memukul beduk menandakan solat zuhur telah tiba, sementara Ubaid Rizqi, wakilnya, langsung mengambil mikrofon dan mengumandangkan azan.

Matahari pada Kamis siang (9/5/2019) terasa sangat terik, namun tak menyurutkan semangat para warga serta pengunjung untuk beribadah. Mereka satu persatu memasuki masjid yang bersejarah dan menjadi pusat penyebaran Islam di masa lalu yang kaya akan akulturasi budaya.

Usai menunaikan solat zuhur berjamaah, Nasirudin berbincang dengan Kompas.com. Ia menjelaskan jika jumlah jamaah siang itu lebih banyak daripada hari biasanya di luar bulan puasa.

Baca juga: Azan Berkumandang di Wihara Welas Asih Cirebon...

 

Bahkan para warga juga memenuhi sebagian area Masjid Bata Merah pada lima waktu salat, terutama malam hari saat Tarawih. Mereka juga menyempatkan itiakaf bahkan tadarus di masjid ini.

“Di sini selalu ramai, tapi lebih meningkat saat bulan suci Ramadhan. Dari mulai awal waktu sampai akhir padat jamaah. Jumlah jamaahnya lebih banyak dari hari biasa. Ada sebagian jamaah yang juga menanyakan keunikan masjid ini,” kata Nasirudin.

Pria yang sudah beberapa tahun menjadi wakil DKM Masjid Bata Merah menjelaskan masjid unik ini dibangun di atas lahan sekitar kurang lebih 200 meter persegi. Para wali, kata Nasirudin, membangun masjid ini hanya dengan bata merah dan kayu sebagai penopang dan atapnya.

Mereka tidak menggunakan perekat seperti bangunan masjid lainnya. Keunikan itu yang menyebabkan masjid ini dikenal sebagai masjid "Bata Merah Panjunan".

Sebelumnya masjid ini bernama Masjid Al-athya. Konon masjid ini dibangun hanya dalam waktu satu malam. Namun masjid ini tidak digunakan untuk salat Jumat, melainkan hanya untuk salat lima waktu.

Seorang warga berdiri di gapura pintu masuk Masjid Bata Merah Panjunan, di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Kamis (9/5/2019). Kompas.com/ MUHAMAD SYAHRI ROMDHON Seorang warga berdiri di gapura pintu masuk Masjid Bata Merah Panjunan, di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Kamis (9/5/2019).

Masjid Sarat Sejarah dan Akulturasi Budaya

Raden Opan Safari Hasyim, filolog Cirebon mengatakan berdasarkan sumber sejarah, Masjid Bata Merah dibangun  sekitar tahun 1470 masehi oleh Syekh Abdurahman Albaghdadi atau Pangeran Panjunan bersama warga sekitar. Mereka juga yang menggabungkan batu bata merah dengan kayu jati sebagai penopang bagian tubuh masjid.

Kompas.com melihat sendiri keunikan-keunikan tersebut. Beberapa kayu ditata sedemikian rupa untuk plafon dan juga atap. Tak ada satupun genting yang tampak di bagian atap masjid ini.

Bahkan gerbang pintu masuk ke dalam masjid tampak menyerupai gerbang pura. Seluruh pagar yang mengelilingi masjid ini juga berbahan dasar bata merah yang tersusun rapi termasuk seluruh dinding di bagian dalam masjid.

Baca juga: Azan Pitu, Tradisi Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Sejak Zaman Wali Sanga

Para wali yang dulu membangun masjid tersebut, kata Raden Opan, juga memasang keramik pemberian hadiah dari China. Mereka nyaris memasangkan ornament tersebut di seluruh dinding masjid. Corak gambarnya pun sangat khas antara lain naga, kerajaan atau dinasti, pohon, serta bunga-bunga.

“Kalau kita lihat atapnya, itu atap susun tiga. Orang banyak mengadopsi itu ciri dari budaya jawa. Sebetulnya di Tiongkok pun atap bersusun itu banyak. Kata Profesor Tan Ta Sen (ahli sejarah Cheng Ho), itu salah satu ciri dari budaya Cina yang dibawa Cheng Ho ke sini. Kemudian di masjid itu juga menggunakan piring-piring Dinasti Ming. Sementara yang lainnya seperti gapura dan bentar, itu warisan dari Majapahit. Warisan agama sebelumnya,” ungkap Opan kepada Kompas.com.

Pria yang ahli membaca manuskrip kuno itu menyebut kekayaan ini merupakan bukti bahwa saat itu akulturasi budaya dan agama di Cirebon tumbuh sangat subur. Para penyebar agama Islam juga tidak melarang justru mereka mengakulturasi serta mengadopsi nilai-nilai perbedaan itu

“Ada Konghucu, Hindu, Budha, dan ketika Islam masuk itu diadopsi oleh Islam,” katanya.

Baca juga: Masjid Bambu di Cirebon yang Unik dan Menenangkan

Opan menjelaskan, Panjunan dikenal sebagai kampung pembuat gerabah. Keahlian membuat gerabah dimiliki Syekh Abdurahman Albaghdadi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat sekitar. Hingga saat ini, salah satu jalan dinamai Jalan Kobongan yang berarti tempat pembakaran gerabah.

“Karena perkembangan kota yang sudah sangat ramai, tentu tidak lagi mendirikan di situ. Tapi elemen-elemen gerabah yang digunakan pada masjid, nah di situ masih terlihat. Seperti memolo yang terbuat dari gerabah, sampai sekarang masih ada. Walaupun tradisi kerajinan gerabahnya sudah berpindah ke Desa Sitiwinangun,” pungkas Opan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com