Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magetan Bambang Setiawan mengatakan, kirab Nayokoprojo dengan berkeliling kota merupakan penggambaran dari manunggaling kawulo gusti yang artinya pentingnya para petinggi negara untuk turun ke jalan agar mengetahui kehidupan para warganya.
“Bisa digambarkan sebagai bentuk dari pemegang tampuk pimpinan di Kabupaten Magetan yang sedang melakukan tilik kawulo atau menyambangi masyarakatnya,” katanya.
Untuk menjalani tradisi kirab Nayokoprojo juga harus mengenakan busana khas Magetan yaitu ageman gondokusuman dengan dilengkapi blangkon kawibawan serta jarit nyabuk wolo.
Dalam sejarahnya, busana ageman gondokusuman merupakan busana yang dikenakan oleh Basah Bibit Gondokusumo, seorang kerabat Keraton Mataram atau Keraton Solo saat menyamar menjadi masyarakat biasa agar tidak diketahui oleh tentara Belanda saat melarikan diri dari tempat pengasingan di Kota Semarang menuju ke arah timur.
Baca juga: Kapolres Magetan Pastikan Bayi Arini Operasi Sumbing di Surabaya
Basah Bibit Gondokusumo atau Raden Tumenggung Yosonegoro merupakan pejabat Bupati Magetan pertama yang menjabat dari tahun 1675 hingga 1703.
R.T. Yosonegoro diwisuda sebagai Bupati Magetan pada tanggal 12 Oktober 1675 yang merupakan tanggal resmi lahirnya Kabupaten Magetan.
Sebelum kirab Nayokoprojo dilaksanakan, biasanya ada satu lagi tradisi yang dilaksanakan yaitu festival Ledug atau lesung dan bedug.
Lesung merupakan alat pertanian sebagai penumbuk padi pada jaman dahulu sementara bedug merupakan peralatan music yang mengiringi lesung pada saat itu.