KOMPAS.com - Sejak penemuan sinematograf oleh Lumiere Bersaudara, perkembangan industri perfilman dunia berkembang pesat. Antusiasme masyarakat untuk menonton film sebagai hiburan semakin tinggi.
Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda juga terkena dampak perkembangan film. Walaupun berada dalam bayang-bayang penjajahan dan kolonialisme, industri film juga berkembang di Tanah Air.
Namun, pada 1900-an film banyak didominasi oleh film Eropa dan Amerika. Penjajahan mengakibatkan kurangnya ruang gerak dari kalangan bumiputra untuk menghidupkan film.
Memasuki 1920-an, ada ide dari beberapa pihak untuk membuat film produksi dalam negeri. Diambil dari cerita rakyat Sunda, film Loetoeng Kasaroeng mulai tayang di bioskop Bandung pada 1926.
Salah satu dari bioskop yang menayangkan film anak negeri itu adalah Majestic yang sekarang berada di Jalan Braga, Kota Bandung. Bioskop itu juga menandai awalnya perkembangan film di Indonesia.
Baca juga: 31 Desember 1926, Film Indonesia yang Pertama Dirilis di Bioskop
Pada era 1920-an, kondisi ekonomi Hindia Belanda berada dalam keadaan yang sangat baik. Orang-orang Belanda yang tinggal di Bandung membutuhkan rekreasi berupa bioskop.
Maka pada awal tahun 1920, Technisch Bureau Soenda diminta melaksanakan pembangunan gedung bioskop. Pembangunan gedung itu terealisasi pada 1922.
Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 27 Februari 2006, Prof Ir Wolf Schoemaker, guru besar Technische Hoogeschool (TH) te Bandoeng, yang kini bernama Institut Teknologi Bandung (ITB) membangun gedung bioskop Concordia.
Schoemaker memberikan ornamen Batara Kala pada bagian depan bangunan sebagai upaya membuat garis arsitektur baru di Hindia Belanda.
Pertunjukan film di Bioskop Majestic diadakan pukul 19.30-21.00. Siang sebelum pemutaran, pemilik bioskop berkeliling kota dengan kereta kuda untuk berpromosi sambil memperlihatkan poster film dan membagi selebaran.
Di muka bioskop biasanya sudah banyak pedagang dan pemusik. Para pemusik masuk ke bioskop menjelang pertunjukan sambil membawa alat musik, seperti biola, gitar, cello, dan tambur untuk memberi musik latar pada film bisu yang diputar. Saat itu bioskop juga melengkapi film bisu dengan komentator.
Proyektor yang ada hanya cukup untuk memutar satu reel film yang panjangnya sekitar 300 meter berdurasi 15 menit sehingga untuk film berdurasi satu jam, perlu jeda tiga kali.
Saat jeda, ditayangkan iklan-iklan yang berupa gambar mati. Tempat duduk bioskop dibagi menjadi deret kiri dan kanan sebab penonton berbeda jenis kelamin harus duduk terpisah.
Baca juga: 28 Desember 1895, Pemutaran Film yang Jadi Cikal Bakal Bioskop Pertama