Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dana Desa Bikin Galau, Para Kades di Jombang Minta "Wejangan" Jaksa

Kompas.com - 20/12/2018, 17:52 WIB
Moh. SyafiĆ­,
Khairina

Tim Redaksi

JOMBANG, KOMPAS.com - Kesalahan tak sengaja dalam pengelolaan keuangan desa yang berujung kasus pelanggaran pidana korupsi, menjadi momok menakutkan bagi para Kepala Desa (kades) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Perasaan itu sebagaimana dirasakan para kades di wilayah Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang.

Takut melakukan kesalahan dan akhirnya terjerat pidana korupsi, hampir selalu membayangi para kepala pemerintahan di tingkat desa.

Kepala Desa Kepatihan, Kecamatan Jombang, Erwin Pribadi mengatakan, kucuran dana dari pemerintah untuk desa dalam bentuk Dana Desa (DD) dan Anggaran Dana Desa (ADD), membuat desa bisa berkembang lebih cepat.

Kewenangan pengelolaan dana pembangunan yang sepenuhnya diserahkan kepada desa membuat proses pembangunan di desa berlangsung lebih cepat dan lebih tepat sasaran.

Baca juga: Taat Aturan, Jokowi Gunakan Bahasa Jawa Saat Bertemu Kepala Desa

Namun, kata Erwin, proses yang ideal untuk pembangunan desa tersebut ternyata juga memunculkan perasaan galau di kalangan kepala desa maupun perangkat desa.

Perasaan galau tersebut, kata Erwin, bukan tanpa alasan. Tahun lalu, sekitar 900 Kades se-Indonesia dipenjara karena terjerat korupsi dana desa.

Memang, lanjut Erwin, di Jombang belum banyak kades yang terjerat kasus korupsi pengelolaan dana desa.

Namun, posisi kades yang rawan terjerat kasus korupsi pengelolaan keuangan desa membuat banyak kades yang was-was.

"Kami, para kepala desa sudah pasti tidak ingin terjerat kasus itu. Apalagi jika itu ternyata bukan murni kesalahan, tetapi karena tidak tahu kalau itu kesalahan," tutur Erwin.

Kades Kepatihan ini lantas merujuk pada salah satu kasus dugaan korupsi dana desa di Jombang yang sempat muncul pada tahun 2017 lalu.

Kasus tersebut, kata Erwin, ternyata berawal dari ketidaktahuan Kades karena melakukan pemindahan lokasi pembangunan, meski pemindahan itu dikehendaki dan disetujui masyarakat.

"Contohnya tahun lalu ada, tahun 2017 kita kena masalah itu. Sebenarnya bukan dihabiskan (dikorupsi), tapi karena dialihkan ke sebelahnya, akhirnya menjadi masalah," ungkap Erwin.

Ceritanya, kata Erwin, waktu itu masyarakat di salah satu desa yang depan rumahnya menjadi sasaran proyek, sangat antusias dan melakukan swadaya.

"Lalu disepakati (lokasi) digeser ke sebelah agar bisa lebih lebar karena yang depan rumah sudah dibiayai warga sendiri. Tetapi itu akhirnya jadi masalah karena dianggap melanggar prosedur," tuturnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com