Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Decky Sastra Pembuat Jaket Jokowi, Makan Sampah hingga Tidur di Lantai

Kompas.com - 13/11/2018, 16:44 WIB
Reni Susanti,
Khairina

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Kehidupan Decky Sastra, pemilik Rawtype Riot, pembuat jaket Bubur Ayam Racer, tidaklah mudah.

Kesulitan hidup ia hadapi sejak kecil, terutama saat orangtuanya berpisah. Ia bersama sang ibu, Ike Sartika, harus pindah ke rumah neneknya yang sudah tak ditempati.

“Tidur di tikar. Tak ada listrik, jadinya cuma pakai lilin,” ujar Dicky kepada Kompas.com di tempat kerjanya di Sukaluyu Bandung, Senin (12/11/2018) sore.

Agar bisa melanjutkan sekolah ke SMA, saat SMP ia membantu sang ibu yang menjahit pakaian muslim. Ia ikut menjual baju muslim atau berbisnis apa pun.

Lulus dari SMPN 38 Bandung dan masuk ke SMA Pasundan 7, Decky mulai berbisnis desain. Ia dan temannya membuat kaus kelas dan gratis desain.

Pria kelahiran Jakarta, 5 Mei 1988 ini kemudian pergi ke Pasar Baru. Ia diarahkan untuk membuat kaus kelas di sana.

Di Pasar Baru Bandung, ada pemilik toko tertarik pada desainnya. Ia ditawari pekerjaan membuat desain kaus.

“Satu kaus dihargai Rp 20.000, dan pemilik toko akan beli lebih dari 10 desain. Saya senang sekali. Itu artinya saya dapat Rp 200.000,” ungkapnya.

Walaupun kemudian ia sadar, desainnya dibayar murah, ia tetap bahagia. Sebab begitu desainnya menjadi kaus, rasa senangnya melebihi uang Rp 20.000.

“Gila lu, desain gue dipake orang-orang,” ucap Decky menyepertikan perasaannya saat itu.

Baca juga: Ini Arti Bubur Ayam Racer, Tulisan di Jaket yang Dikenakan Jokowi

Lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung.

Selama itu, ia mencoba berbagai bisnis. Seperti bisnis gitar atau kostum musik hingga akhirnya ia kenal dengan berbagai band lokal.

“Mereka pun ingin membuat merchandise, dan saya yang buat desainnya. Jadi apapun kerjaan saya, pasti tidak lepas dari desain,” ungkapnya.

Masuk di jurusan DKV tidak murah. Ada banyak praktik sehingga harus banyak mengeluarkan uang. Sedangkan keuangan ibunya tidak memungkinkan.

“Paling hanya biaya masuk (dibayar sang ibu), selanjutnya saya harus berjuang,” tuturnya.

Ia pun mencari uang tambahan dengan mengerjakan tugas teman-temannya. Untuk uang, ia berbagi kosan dengan temannya.

“Biaya kosan Rp 300.000, listrik Rp 65.000. Saya hanya bayar untuk listrik Rp 65.000, sisanya dibayar teman saya. Bagaimana lagi, saya tidak punya uang, buat makan pun susah,” tuturnya.

Baca juga: Pembuat Jaket Bubur Ayam Racer Tak Pernah Tahu Gibran Beli Jaketnya

Hingga pernah suatu hari ia sakit radang, hingga badannya panas dan mata sakit. Jangankan ke dokter, untuk membeli obat warung agar sakitnya berkurang pun ia tak punya uang.

“Saya juga lapar. Lalu saya makan dengan remah gorengan dan sampah makanan sisa kosan sebelah. Begitu bangun, saya ada di rumah sakit,” ucapnya.

Meski sakit,  ia enggan memberitahukan orangtuanya. Ia tidak ingin membuat orangtua terutama ibunya repot.

Baginya, ibu adalah segalanya. Ibu adalah sumber kekuatan yang membuatnya tak pernah putus asa untuk selalu berjuang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com