KEBANYAKAN orang Asia Tenggara (seperti saya) tidak bisa memahami bagaimana bumi dengan sendirinya bisa tiba-tiba meraung, dan bergetar. Pada beberapa kasus tertentu seperti di Palu beberapa waktu lalu, permukaan tanah yang padat berubah menjadi cairan lumpur (istilah teknisnya, likuefaksi).
Sebelum saya pindah ke Indonesia 15 tahun yang lalu, satu-satunya pengalaman gempa yang pernah saya alami hanyalah getaran ringan yang terjadi di Kuala Lumpur, saat saya berusia tujuh tahun.
Ibu saya bercerita, saya tertidur sepanjang gempa, bahkan saat televisi kami (dulu televisi kami beroda) bergerak perlahan ke seberang ruangan, tidak ada kerusakan yang fatal kala itu.
Negara maritim Asia Tenggara, seperti Filipina dan Indonesia mengalami hal yang berbeda. Letaknya yang di lingkaran “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire), dengan serangkaian lempeng tektonis yang tidak stabil, membuat kedua negara kepulauan ini kerap mengalami gejolak seismik.
Baca juga: Video Amatir Ungkap Tsunami Palu datang 4 Menit Pasca Gempa
Bagi Indonesia “alam” menjadi bagian dari kehidupan, jika bukan ancaman. Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami sejumlah gempa, gunung meletus, dan tsunami, begitu banyaknya sampai membuat staf saya di Jakarta memilih berkantor di lantai dasar karena takut terjebak di gedung tinggi bila terjadi gempa.
Catatan saya penuh dengan cerita langsung dari orang-orang yang berjuang melawan cobaan alam, merasakan kehilangan, lalu mereka harus membangun kembali kehidupan. Setiap cerita memiliki keunikannya sendiri, tidak ada yang sama, kecuali rasa takut dan ketidakberdayaan para korban saat bencana terjadi.
Sungguh, alam Indonesia sangat tidak dapat diprediksi.
Ada kalanya manusia seperti dipermainkan, seperti kucing mengejar tikus, sebelum diakhiri dengan pukulan yang mengakhiri penderitaan (baca: coup de grace).
Contohnya, pada 2006 saat Gunung Merapi akan erupsi dan semua mata tertuju ke limpahan lahar dan abu vulkanik, tiba-tiba terjadi pergerakan lempeng tektonik jauh di selatan, cambukan gempa pun memecah ketenangan kehidupan warga Bantul. Lebih dari 5.000 penduduk meninggal dunia.
Hal yang sama terjadi tahun ini, saat warga Bali bersiap menghadapi erupsi sang Gunung Agung dan mulai mengosongkan desa-desa dan peternakannya, Cincin Api Pasifik justru memberi kejutan dengan mengguncang Pulau Lombok yang tepat berada di timur Bali, memporakporandakan para petani yang tidak siaga dan merenggut 564 korban jiwa.
Kisah yang merisaukan dan menyayat hati. Di Aceh, salah satu narasumber saya bercerita bagaimana dirinya serasa ditelan oleh aliran air asin ketika diterjang tsunami 2004, lalu tersapu oleh arus bersama dengan sampah-sampah, kucing, anjing, pepohonan, mobil, serta rumah-rumah. Di tengah kekacauan itu, dia kehilangan putri bungsunya.
Di Bantul, setelah gempa bermagnitudo 6,3 terjadi pada 2006, petani setempat bercerita mengenai mual yang mereka rasakan saat bumi bergetar dan mengguncang layaknya badai di tengah laut.
Saya mencoba untuk mengerti apa yang mereka rasakan ketika tanah yang mereka injak – sesuatu yang tidak dihargai sebagai benda padat yang tidak mungkin berubah – seketika bergejolak menghancurkan semua yang berdiri di atasnya. Hanya pernah merasakan getaran ringan, saya mencoba mengaitkan satu cerita dengan yang lain.
Baca juga: Kisah Korban Likuefaksi: Ramna Dimuntahkan Bumi dan Ibunya yang Terimpit Beton
Tentunya, seusai gempa dan erupsi yang mematikan itu, terjadi kesuburan yang luar biasa. Saat Gunung Kelud erupsi empat tahun silam, menyemburkan lebih dari 160 juta meter kubik abu vulkanik di langit Jawa Timur yang memaksa penundaan penerbangan serta penutupan bandara selama berminggu-minggu, namun panen di wilayah tersebut menjadi berlimpah.
Salah satu staf magang saya, Destya Darmawan, bercerita setahun setelah erupsi, kampung halamannya di Kediri menuai panen nanas dua kali lipat dari biasanya sementara panen padi meningkat 50 persen.