Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan 25 Unit Rumah Khusus dari Jokowi di Papua Terancam Terhenti

Kompas.com - 08/10/2018, 18:25 WIB
Kontributor Wamena, John Roy Purba,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SENTANI, KOMPAS.comPembangunan 25 unit rumah khusus yang merupakan program Presiden RI Joko Widodo di Kampung Netar, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, terancam terhenti.

Hal itu latar belakangi adanya sengketa lahan tanah di atas pembangunan 25 unit rumah yang dikerjakan oleh Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Satuan Kerja Vertikal Non Tertentu (SNVT). Sengketa lahan itu terjadi antara masyarakat hak ulayat tanah dengan perusahaan CV Bintang Mas.

Kepala Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Papua, Malikidin Soltief mengungkapkan, pembangunan rumah ini murni hasil usulan dari masyarakat pemilik hak ulayat tanah langsung kepada Presiden RI, yang kemudian pembangunannya diserahkan kepada mereka.

“Jadi kita memiliki program pembangunan rumah khusus layak huni bagi masyarakat. Sebelum kita bangun rumahnya, biasanya masyarakat mengusulkan kepada mereka ataupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jadi pembangunannya berdasarkan usulan. Kalau di 28 kabupaten dan 1 kota di Papua, ada sekitar kurang lebih 300 rumah kita bangun tahun ini,” jelasnya kepada wartawan, Minggu (7/10/2018).

Soltief menjelaskan, terkait pembangunan rumah yang berada di Kabupaten Jayapura, memang saat ini mendapat hambatan. Hal itu terjadi akibat adanya sengketa tanah antara pemilik hak ulayat tanah dengan salah satu perusahaan yang mengklaim tanah tersebut.

“Jadi sejak bulan Juli lalu kita sudah mulai pembangunannya. Progresnya sudah kurang lebih 40 persen. Nah, masalah sengketa tanah ini mengakibatkan kita menghentikan pembangunannya. Apalagi, sudah ada surat dari kepolisian yang berencana menyegel lokasi pembangunannya,” jelasnya.

Baca juga: 6 Fakta Terbaru Gempa Lombok, Kekurangan Air Bersih hingga Pembangunan Rumah Korban

Soltief menambahkan, pihaknya tak mau ikut campur dalam ranah proses hukum yang berjalan saat ini. Hanya saja ia menyayangkan hal ini terjadi. Apalagi hal itu berlangsung setelah pembangunan rumah berjalan.

“Kan, aneh. Lokasinya ada di tengah-tengah kota. Namun, saat ada pembangunan pagar di lokasi pembangunan rumah hingga pembangunan rumahnya berjalan ditahap awal, orang yang mengklaim memiliki tanah ini tidak komplain. Lalu sekarang menjadi masalah di ranah hukum,” pungkasnya.

Micael Demena, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pembangunan rumah, menjelaskan, anggaran pembangunan rumah ini mencapai Rp 7.124.970.000 dengan bentuk rumah tipe 36. Pembangunannya dimulai sejak tanggal 16 Juli 2018 lalu.

“Kini pembangunannya terpaksa kami hentikan. Apalagi, pada tanggal 5 Oktober 2018 lalu, kami menerima surat dari Polda Papua yang isinya akan dilakukan segel terhadap lokasi pembangunan rumah itu,” tuturnya.

Hibah tanah jadi sengketa

Pemilik Hak Ulayat Tanah, Yulius Malo, sejak tanggal 5 Oktober 2018 lalu, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dengan kasus penyerobotan tanah.

Yulius mengaku tak menyangka niat baiknya untuk memperjuangkan masyarakat di sekitarnya untuk mendapatkan rumah layak huni dari pemerintah berujung ke ranah hukum, hingga mengakibatkannya dirinya menjadi tersangka.

“Saya sangat sedih. Sebagai pemilik hak ulayat tanah, kini dituduh mencuri tanah sendiri. Apalagi, CV Bintang Mas mengaku hampir seluruh tanah di kampung ini adalaBaca juga: Mengenal Yapen, Kota Pusat Pendidikan di Papua pada Zaman Belandah miliknya. Padahal, saya tidak pernah menjualnya,” tuturnya kepada wartawan Kompas.com, Senin (8/10/2018).

Ketika diperiksa di polisi, ungkap Malo, melalui surat perjanjian, CV Bintang Mas adalah pemilik sah tanah di Kampung Netar yang dimiliki masyarakat adat, yakni Mandai Gwale selus 38.000 meter persegi dan Pihou 22.500 meter persegi.

“Ini sungguh aneh, dari surat perjanjian jual beli tanah pengusaha besar itu bisa memiliki tanah ini semua. Bahkan, mereka mengklaim ada beberapa lokasi lagi di daerah ini, yakni di gunung-gunung dan bibir pantai milik mereka, dengan total 117.277 meter persegi. Tolong bantu kami orang yang tak mengenal hukum untuk menyelesaikan masalah ini,” paparnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com