PALU, KOMPAS.com - Bedak putih yang tidak merata membuat wajah Alya (6 bulan) terlihat menggemaskan.
Panas terik matahari yang membakar tempat pengungsian di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah, ini tidak menghilangkan senyum manisnya.
Meski terpal plastik yang dijadikan atap samping kuburan umum ini terasa panas terpanggang matahari Kota Palu, kota yang dekat dengan garis khatulistiwa, dia tetap saja tertawa saat disapa atau digoda pengungsi lain.
Baca juga: Petaka di Petobo, Aspal seperti Gelombang dan Lumpur Keluar dari Perut Bumi, seperti Mau Kiamat
Alya yang masih bayi ini harus tinggal di tempat yang jauh dari layak setelah bencana gempa bumi bermagnitudo 7,4 dan tsunami melanda Sulawesi Tengah.
"Alya sudah mulai beringus, mungkin banyak debu," kata Ainun Rizki (19), ibu Alya, setelah memberi ASI.
Kelurahan Balaroa berada di ketinggian. Dari tempat ini, siapa pun bisa melihat lembah dan Teluk Palu yang luas.
Baca juga: Perumnas Balaroa Amblas Pascagempa Palu, 90 Orang Tewas, Ratusan Orang Tertimbun
Tentu saja mereka tidak diterjang tsunami, namun gempa dahsyat telah memaksa mereka meninggalkan rumah.
Guncangan hebat ini membuat bagian kelurahan ini amblas dalam cairan lumpur yang keluar dari dalam perut bumi.
Di penampungan pengungsi Balaroa ini, bayi Alya tidak sendirian.
Di sini ada bayi Nabhan Pradipta (3 bulan), anak pasangan Evi Dayanti (19) dan Ajab (30), serta Nuzul (4 bulan), buah hati Rafika (29) dan Hendri (34), dan masih banyak lagi. Belum lagi anak usia bawah lima tahun yang selalu riuh.
"Kondisinya harus prihatin, tidak seperti kehidupan normal" kata Evi.
Panasnya Palu memang tidak kenal ampun. Semua merasakan, termasuk bayi-bayi yang belum tahu apa yang sedang mereka alami. Di tubuh Nabhan Pradipta mulai muncul bintik seperti biang keringat, kulitnya juga mulai terkelupas.
"Udara memang panas dan kering, orang dewasa saja tidak tahan. Bagaimana dengan bayi-bayi ini?" ungkap Evi khawatir.
Berbeda dengan Nuzul yang sudah biasa minum ASI yang dibantu susu formula. Di pengungsian ini serba terbatas, tidak tersedia jenis susu yang biasa dikonsumsi bayi-bayi lucu ini.
Mau membeli pun tidak ada toko yang buka, bahan bakar juga langka, transportasi sangat mahal saat ada musibah ini.
Untuk bisa menghasilkan air susu, kaum wanita ini dituntut sehat dengan mengonsumsi makanan yang bergizi tinggi. Namun faktanya di tempat yang panas ini makanan yang disajikan serba darurat. Nasi dengan lauk apa adanya, setiap hari.
"Untung ada layanan kesehatan, setidaknya bisa mengetahui kondisi kesehatan bayi kami," tutur Evi.