Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Larung Sesaji, Seorang Warga Berenang ke Kawah Gunung Kelud (1)

Kompas.com - 17/09/2018, 08:46 WIB
M Agus Fauzul Hakim,
Farid Assifa

Tim Redaksi

KEDIRI, KOMPAS.com - Bulan Suro bagi masyarakat, khususnya Jawa, mempunyai makna tersendiri dan istimewa. Ritual maupun selamatan banyak dilakukan di setiap bulan dalam penanggalan Jawa itu.

Misalnya yang dilakukan oleh ribuan warga di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Minggu (16/09/2018). Mereka mengikuti laku arif adat setempat berupa larung sesaji di puncak Gunung Kelud.

Masyarakat yang hadir itu terutama para warga Desa Sugihwaras dan sekitarnya. Desa yang ada di Kecamatan Ngancar ini merupakan daerah terdekat dan memiliki akses termudah menuju puncak Kelud. Meski demikian, tidak sedikit pula yang datang dari luar kota.

Mereka rata-rata mengenakan pakaian setelan adat Jawa. Laki-laki berpakaian serba hitam dengan udeng atau kain ikat kepala. Sedangkan perempuan mengenakan pakaian khas kebaya.

Laku bagian dari harmonisasi alam tersebut dilakukan di dua titik berbeda dalam waktu yang bersamaan. Yaitu pada kawasan danau kawah dan juga pada suatu tempat lapang yang berjarak sekitar 1 kilometer dari kawah.

Ritual yang berlangsung di kawah itu dilakukan dengan melarung berbagai sesaji mulai dari kembang hingga ayam panggang atau ingkung dalam istilah Jawa.

Baca juga: Tradisi Jaton dan Pesan Merawat Kearifan Lokal di Tengah Perubahan Zaman

Ritual ini diikuti peserta yang terbatas. Kondisi medan gunung yang belum sepenuhnya tertata ini menjadi salah satu alasannya. Bahkan kawasan puncak pada hari-hari biasa tertutup untuk umum.

Benda-benda itu dibawa tepat ke tengah danau kawah gunung setinggi 1.731 Mdpl yang baru saja meletus pada tahun 2014 lalu itu.

Dibawa ke tengah danau

Sesaji dibawa ke tengah danau oleh seorang warga dengan cara berenang. Dia rela melakukan aksi berbahaya itu karena menganggap tugas itu mulia. Tidak banyak warga yang berani melakukannya.

"Saya hanya yakin dan percaya bisa melakukannya, jadi tidak ada persiapan apa-apa," ujar Dulrokhim (48), warga pelarung yang melakukan tugasnya sejak tahun 2006 ini.

Sebelum pelarungan, aneka ragam sesaji itu menjadi bagian dari ritual doa yang dipimpin oleh Sahlan, seorang tetua kampung. Ritual itu dilakukan di bibir kawah.

Kondisi medan yang cukup berat tidak nampak menyurutkan warga menjalankan ritual yang telah dilakukan turun-temurun itu. Padahal, medan menuju kawah itu terdiri dari bebatuan dan pasir yang cukup labil.

Apalagi jalur dari tempat ritual ke kawah masih cukup jauh dengan jalur yang curam, berbatu dan berpasir. Peserta yang akan melarung harus turun dan menghadapi medan sulit tersebut.

"Saya memang suka dengan tradisi ini," ujar Endang Wahyuni (42), seorang wanita yang terlibat dari awal hingga akhir ritual.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com