Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Nurdiansah
Peneliti tata kelola pemerintahan

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Berjuang di Tanah Tergenang

Kompas.com - 03/09/2018, 20:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HAKIKATNYA, hidup adalah perjuangan. Namun, baginya tinggal di Kelurahan Bandengan, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dalam 10 tahun terakhir perlu ekstra berjuang.

Beberapa kelurahan, seperti Pabean, Kramat Sari, dan 6 kelurahan lain di Kota Pekalongan hari ini bernasib sama, mulai tergenang. Membersihkan lantai rumah sisa lumpur semalam, melawan dinginnya air yang merambat menyentuh kulit kaki saat terlelap, dan menenangkan buah hati yang menangis karena trauma merupakan kesehariannya.

Mendapatkan air bersih untuk sekadar mandi dan cuci juga harus berjuang. Jika tidak, penyakit kulit atau bau tak sedap akan ada sepanjang hari.

Kalau sudah demikian, seharian di tempat kerja, di kelompok arisan, pengajian, di kantor kelurahan, di sekolahan akan terasa sangat menakutkan.

Bencana banjir rob sudah menjadi teman akrab bagi mereka. Bagaimana tidak, air merendam rumah, kebun, sawah dan tambak berhari-hari, berminggu, berbulan dan bahkan bertahun-tahun.

Kalaupun surut, hanya sebentar. Satu yang dikhawatirkannya, binatang berbisa seperti ular akan masuk ke dalam rumah untuk berlindung dari genangan, seperti yang terjadi pada banjir terparah sepanjang sejarah baru-baru ini, di mana telah menyisakan duka mendalam bagi 3 keluarga yang ditinggalkan anggotanya karena dipatok ular.

Sampai kapan?

Baginya dan sebagian warga lain, meninggikan lantai rumah adalah satu-satunya upaya menghalau bencana. Pertanyaannya, sampai kapan?

Nyatanya, semakin lantai ditinggikan, air seolah-olah semakin tertantang untuk melewati dan menggenangi lagi. Sementara uang dan tabungan yang dimiliki kian hilang, tidak ada cara lain selain utang.

Banyak keluarga yang memilih menyerah dan pergi dari rumah dengan marah. Mengungsi ke rumah saudara menjadi pilihan satu-satunya, ditengah-tengah kondisi keuangan yang semakin lemah.

Namun baginya, pindah bukan sesederhana menggeser raga. Ada jiwa yang tidak mudah dipindah, budaya yang sudah berurat berakar, keluarga yang harus dijaga sekuat tenaga serta tanah dan rumah yang kini sudah tidak berharga.

Padahal dulu, hidup buatnya tidak melulu soal berjuang. Ada tawa, riang dan senang-senang. Sepanjang mata memandang, ada sawah, ladang, kebun melati, tambak, pohon kelapa dan pesisir pantai dengan anginnya yang siap membelai.

Hidup sudah sempurna dengan semua yang Tuhan berikan kepadanya. Kualitas bunga melati di kelurahannya sangat bagus dan menjadikan produk teh melati buatan kotanya terkenal hingga luar Jawa. Hasil panen mangga di kebun dan tambak cukup untuk memenuhi kebutuhan, bahkan perabot seperti tempat tidur dan sepeda motor.

Kini, apa yang dimilikinya harus dipertahankan dengan penuh perjuangan. Sejak banjir rob pertama kali, sebelum kemudian airnya enggan pergi, tidak terhitung berapa kali harus berganti tempat tidur dan sepeda motor.

Semua karena air rob, air asin yang maha dahsyat, mampu merusak dari mulai kayu, besi hingga logam. Saking dahsyatnya, kadang kakinya bengkak dan tidak dapat berjalan, terlebih jika hujan, ketika rob dari laut bertemu dengan air hujan yang membawa sampah-sampah perkotaan.

Jika mengingat itu semua, dia menjadi sangat lemah dan merasa bersalah. Terlebih ketika buah hatinya bertanya, "Papah, kapan rumah kita tidak banjir lagi?" Lidahnya kelu, kaku dan tiba-tiba suara lantangnya hilang seolah terbuang.

Baginya, satu-satunya cara menjawab pertanyaan buah hatinya adalah dengan berdoa dan berharap Tuhan mau menghentikan semua. Doanya tidak lagi untuknya, tetapi buah hatinya, agar tahu bahwa Tuhan yang setiap hari kita sembah dan panjatkan doa memiliki sifat welas asih dan penyayang.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com