Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: Publik Seolah Terbelah Dua, Padahal Mereka Satu Bangsa

Kompas.com - 09/08/2018, 15:17 WIB
Farid Assifa

Editor

PURWAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengimbau politisi agar tidak mengeksploitasi agama dan ideologi untuk kepentingan politik pragmatis.

“Beberapa tahun belakangan ini publik seolah terbelah dua. Padahal sebenarnya mereka satu bangsa. Satu kubu merasa paling berhak atas narasi nasionalis-pluralis. Kubu yang lain merasa memiliki otoritas berjihad melalu sosial media dengan narasi agama,” katanya di Desa Sawah Kulon, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, Kamis (9/8/2018).

Dedi mengatakan, fenomena ini harus segera dihentikan karena akan menguras energi bangsa untuk hal yang tidak substansif. Sementara, pemikiran sekaligus pembangunan harus terus berlangsung secara berkesinambungan.

“Kritik di sosial media itu kini lebih mengarah pada ejekan. Bukan bersifat otokritik yang konstruktif agar ada perbaikan kepemimpinan. Sehingga, menurut saya kesinambungan positif dalam berbagai bidang lebih utama dibanding perdebatan yang tersaji,” ujarnya.

Baca juga: Dedi Mulyadi Sebut Golkar Jabar Tak Perlu Figur Artis untuk Dulang Suara

Mantan bupati Purwakarta itu mencontohkan fenomena dua kubu yang tidak kunjung "move on" di Pilkada Jakarta. Kontestasi politik tahun 2017 lalu telah melahirkan perubahan kepemimpinan. Akan tetapi, kesinambungan pembangunan tidak terjadi.

“Kalau mau objektif, Pak Ahok ada sisi keberhasilannya, tetapi ada juga sisi lemahnya. Begitupun Anies-Sandi, ada fokus yang menjadi perubahannya, ada juga hal yang dia lupakan,” katanya.

Kawasan Kalijodo menjadi salah fokus telaah Dedi. Kata dia, seringkali trademark personal mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Kalijodo dianggap publik sebagai trademark Ahok. Jika dilanjutkan Anies-Sandi akan menimbulkan anggapan tidak tercipta tren kreativitas baru.

“Kalau mau jujur, pemimpin di setiap masa pastilah memiliki jasa. Apabila bermanfaat, saya kira layak untuk diteruskan,” tuturnya.

Pusaran politik Pilpres 2019

Bukan hanya Pilkada DKI 2017, Pilpres 2019 pun menurut Dedi menyisakan residu energi dari Pilpres 2014 lalu. Narasi yang persis sama masih berseliweran menghiasi timeline sosial media dalam rangka menggiring opini publik.

Parahnya, baik narasi nasionalisme maupun agama telah diarahkan untuk menyulut emosi publik. Tingkat kerusakan tenun kebangsaan, menurut Dedi, akan semakin parah jika hal ini tidak dihentikan.

“Kalau dua kubu ini mengalami kekecewaan, mereka bisa menjadi oposan yang absurd. Ini buah dari kegagalan mengelola politik aliran, timbul ketidakpercayaan terhadap elite politik,” katanya.

Keriuhan perdebatan ini, kata Dedi, justru tidak terjadi di kalangan elite politik. Tidak ada narasi nasionalisme maupun agama yang menjadi pokok bahasan.

Baca juga: Dedi Mulyadi Sebut Kader Partai Dua Digit Lebih Berhak Jadi Cawapres Jokowi

Elite dinilainya hanya berfokus pada peningkatan nilai elektoral partai. Hal ini tercermin dari alotnya penentuan nama cawapres dari kubu petahana maupun penantang di Pilpres 2019. Kejujuran, menurut dia, harus menjadi panglima dalam kehidupan politik kebangsaan.

“Dua narasi besar yang menjadi perdebatan itu tidak kita temukan di elite politik kita. Publik terbelah menjadi cebong dan kampret, sementara elite baik-baik saja. Maka saya tegaskan, saya bukan cebong, saya bukan kampret, saya Golkar,” katanya.

Berita ini sudah tayang di Tribun Jabar dengan judul Dedi Mulyadi : Saya Bukan Cebong, Saya Bukan Kampret, Saya Bukan Kardus, Saya Golkar

Kompas TV Pembahasan nama cawapres sampai saat ini belum final dan masih menunggu dari koalisi partai lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com