Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Baca Sangkrah Tanamkan Kebinekaan pada Anak di "Kampung Preman"

Kompas.com - 01/08/2018, 09:23 WIB
Muhlis Al Alawi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Ulah para teroris yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri beberapa waktu lalu di Surabaya menjadi catatan kelam bagi Indonesia.

Kondisi itu bisa menjadi gambaran kurangnya anak mengenal kebinekaan sebagai satu keniscayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Untuk mengajak anak-anak mengenal kebinekaan, Rumah Baca Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, memiliki cara yang unik. Anak-anak yang tinggal di Sangkrah dan Semanggi diberikan edukasi yang menyenangkan.

Bukan diberikan ceramah dan menyanyi, anak-anak yang tinggal di "kampung preman" (disebut kampung preman karena banyak teroris dan resedivis kasus kekerasan) terjun langsung menuangkan goresan gambaran bertemakan kebinekaan. 

"Puluhan anak kami libatkan untuk ikut mewarnai gambar bertemakan kebhinekaan. Gambarnya berupa seorang ibu yang membawa payung warna-warni memayungi anak-anak," kata Danny Setyawan, pembina Rumah Baca Sangkrah kepada Kompas.com, Senin (30/7/2018).

Danny menuturkan, sebelum memutuskan melibatkan anak-anak, ia berdiskusi dengan beberapa seniman terkait perkembangan kondisi di Indonesia. Sebab, isu-isu SARA mulai digulirkan.

"Sebetulnya itu hasil perbincangan panjang kita tiga bulan terakhir karena perkembangan kondisi Indonesia yang terjadi di beberapa tempat akibat ekses politik menggunakan isu-isu SARA. Menurut kami memprihatinkan," kata Danny.

Baca juga: Cerita Rumah Baca Sangkrah Mengubah Stigma Kampung Preman

Tak hanya isu SARA, kasus bom bunuh diri yang melibatkan anak menjadi kekhawatiran banyak pihak. Anak-anak dikhawatirkan terkontaminasi paham radikalisme yang mengancam kebinekaan NKRI.

"Saat itu ada video yang beredar di media sosial, anak-anak dilibatkan dalam bom bunuh diri. Lantaran berseberangan politik akhirnya menggunakan sarana anak-anak. Menurut kami itu tidak baik untuk pendidikan anak-anak. Risiko untuk menanamkan paham-paham radikalisme sangat mengancam kesatuan kebinekaan itu sendiri," jelas Danny .

Merayakan perbedaan

Bagi Danny, tidak bisa dipungkiri, Indonesia itu secara takdir memang bersuku-suku, beraneka bahasa, dan budaya. Sejak awal berdiri, nusantara ini sudah bineka.

"Makanya kalau mau diseragamkan atau disamakan itu tidak dimungkinkan. Bhinneka Tunggal itu memang sudah jadi semboyan. Dan, urusan dasar ini statusnya sudah fiks sejak dahulu. Kalau sekarang digesek-gesek lagi maka bagi saya sangat memprihatinkan juga. Dan, itulah yang mendasari kami membuat mural bertemakan kebinekaan," jelas Danny. 

Anak-anak rumah baca Sangkrah menunjukkan hasil karya di depan rumah baca. Dokumentasi Rumah Baca Sangkrah Anak-anak rumah baca Sangkrah menunjukkan hasil karya di depan rumah baca.

Untuk desain mural bertemakan kebinekaan dibuat sederhana dengan media tembok dengan panjang sekitar 20-an meter. Tim menggunakan karakter warna-warni dengan perbedaan tersendiri. Tak hanya itu, ada warna beberapa lilin dan beberapa anak. 

Sangkrah dipilih sebagai lokasi mural lantaran menjadi salah satu kampung plural yang berdekatan dengan etnis pasar kliwon, kampung etnis China. Dengan demikian, lokasi itu dinilai sangat tepat dan strategis. 

Selain itu, Sangkrah dan Semanggi dikenal lantaran beberapa kali teroris tertangkap dan tinggal di dua kampung tersebut. Terakhir, Bahrun Naim, teroris yang menjadi buruan polisi berasal dari Sangkrah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com