KARAWANG, KOMPAS.com - Chairil Anwar meninggalkan jejak semangat yang abadi di tengah kehidupan bangsa Indonesia. Semangat perjuangannya tertuang dalam berbagai puisi yang digubahnya. Salahsatunya, puisi "Karawang-Bekasi".
Namun sayangnya, tak banyak orang yang tahu Chairil meninggalkan jejak di Karawang. Salah satunya, meja yang dulu kerap digunakan pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922 itu ketika singgah di Karawang.
Baca selengkapnya: Sayang, Banyak yang Tidak Tahu Jejak Chairil Anwar di Karawang...(1)
Hingga kini, puisi-puisi Chairil masih kerap menggema. Komunitas-komunitas literasi dan teater di tengah masyarakat Indonesia, salah satunya Karawang, tak pernah absen membawakannya. Bahkan, pembacaan puisi Chairil kerap dikemas sebagai musikalisasi puisi.
"Semesta Literasi, komunitas kami, beberapa kali menggelar malam puisi," ujar Faisol Yuhri, salah seorang penulis di Karawang.
Baca juga: Kisah Rosani, Penderita Kanker yang Jualan Pentol untuk Biaya Kuliah
Di malam puisi itu, puisi-puisi Chairil juga kerap dibacakan. Tak hanya dari Semesta Literasi, komunitas-komunitas lain juga turut bergabung.
Kesan beragam tentang Chairil
Pepi, sapaan akrab Faisol, menyebut Chairil Anwar mempunyai pengaruh besar terhadap bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang ini.
Saat Pujangga Baru membicarakan soal perjuangan di puisi-puisinya menggunakan bahasa baku yang kaku seolah-olah diturunkan dari kamus, Chairil menentang zaman dan berpikir puluhan tahun ke depan.
"Puisinya bicara soal dirinya sendiri (individualitas) dan memakai bahasa sehari-hari," tuturnya.
Menurut dia, keberadaan Chairil di Karawang tidak membawa dampak apa-apa.
"Setidaknya bagi penulis angkatan 2000 seperti saya dan kawan-kawan lain. Ia memang tidak datang ke sini membawa misi kebudayaan. Ia datang karena perang," ujarnya.
Baca juga: Kisah Soesilo Toer, Adik Pramoedya Ananta Toer yang Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung (1)
Juga, lanjut Pepi, tidak ada satu pun karyanya yang ditulis di Karawang. Puisi Karawang-Bekasi sekalipun, yang meniru Young Dead Soldier, ditulis di Jakarta bertahun-tahun kemudian setelah peristiwa Rawagede.
"Kami pun tidak menganggap Chairil sebagai sesuatu yang besar. Sebab kami hanya akan menjadikan Chairil sebagai mitos ketimbang penyair. Memang, semua puisi modern Indonesia pasti menyimpan DNA puisi Chairil di dalamnya. Namun, kita perlu memandang Chairil sebagai manusia," tambahnya.
Sementara itu, Chairil yang diingat Kahfi Satria Darma (86), sahabatnya saat di Karawang, berkebalikan dengan Chairil yang digambarkan oleh Sjuman Djaya dalam buku berjudul AKU.
Bersambung ke halaman dua: Chairil versi Kahfi adalah Chairil yang tenang dan cuek.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.