Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Srikandi Pejuang Agraria, Tanah Adalah Kehormatan

Kompas.com - 06/06/2018, 20:26 WIB
Firmansyah,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BENGKULU, KOMPAS.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2016 terdapat 1,265 juta hektar luasa lahan bersengketa di Indonesia.

Terdapat 450 konflik yang berdampak pada 86.745 kepala keluarga (KK). Konflik tersebut melibatkan warga, perusahaan perkebunan, pertambangan, BUMN, dan lainnya.

Di Bengkulu, konflik agraria juga terjadi. Direktur eksekutif Walhi Bengkulu, Benny Ardiansyah mengungkapkan, Provinsi Bengkulu menduduki predikat tertinggi dengan jumlah 38 orang petani yang menjadi korban konflik agraria secara nasional. 

"Korban meliputi dipenjara, ditembak aparat, dan lainnya. Data dikumpulkan sejak tahun 2012, mereka berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan," kata Benny, Selasa (5/6/2018).

Kompas.com menelusuri perjuangan masyarakat mempertahankan wilayah dan hak atas tanah hingga kini terus berlangsung di Bengkulu.

Weni, sang orator ulung

Perjuangan tersebut tidak saja didominasi kaum pria. Bahkan di beberapa wilayah justru kaum perempuan menjadi mesin penggerak utama.

"Tanah adalah kehormatan. Ia merupakan identitas bagi kehidupan. Bagi petani dan masyarakat adat Rejang di Bengkulu, tanah bukan sebatas media mencari nafkah, tanah merupakan asal usul pengingat pada peradaban," demikian orasi sederhana Weni (41), seorang perempuan adat Marga Bermani, Desa Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Senin (21/5/2018).

Pidato singkat Weni sontak membuat hadirin seperti mendapatkan energi dalam pertemuan yang digelar malam hari itu.

Weni bersama ratusan petani di Desa Lubuk Kembang dalam dua tahun terakhir mengaku khawatir atas rencana penetapan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) berada di perkebunan yang mereka kelola sejak ratusan tahun.

"Tanah itu merupakan warisan. Bahkan 36 petani telah mendapatkan sertifikat, sisanya memiliki surat waris, jual beli tanah dan lain-lain. Secara mendadak pemerintah pada 2017 memasang patok di kebun kami untuk menjadikan HPT," sebut Weni.

Baca juga: 659 Konflik Agraria Tercatat Sepanjang 2017, Mencakup Lebih dari 500.000 Hektar

Akibat pemasangan patok dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XX Bandar Lampung, menurut petani, Badan Pertanahan (BPN) tak bersedia mengeluarkan sertifikat.

"Dulu sebelum pematokan, BPN mau keluarkan sertifikat. Sekarang setelah pemasangan patok, BPN tidak berani keluarkan sertifikat," cerita Weni.

Selama ini kebun ditanami dengan kopi dan palawija. Dari kebun kehidupan warga bergantung. Sadar akan bahaya mengancam perkebunan mereka, Weni mengumpulkan para petani. Dibutuhkan kerja tersusun agar tanah tidak hilang. 

"Bila HPT ditetapkan pemerintah di atas kebun kami maka kami akan kehilangan tanah sebagai asal usul, tempat bertahan hidup dan kehormatan. Maka kami berkumpul menentukan sikap dan langkah," ujar Weni.

Dalam rapat tersebut, Weni terpilih sebagai ketua koordinator penolakan HPT. Namun ia menolak jabatan itu dengan alasan masih banyak tetua dan tokoh lainnya, terutama kaum pria. Namun beberapa bulan berjalan, organisasi tersebut terancam bubar karena tak ada penggerak.

"Kami menggelar rapat lagi dan forum meminta saya untuk memimpin, saya ucap bismillah, maka amanah itu saya terima," jelasnya.

Baru saja dilantik sebagai koorinator penolakan HPT oleh ratusan petani, Weni melakukan gebrakan dengan berkirim surat pada seluruh instansi pemerintah daerah dan pusat atas keluhan petani.

"Pemerintah mulai merespons. Memang belum ada putusan mengikat, namun kami tetap memantau bahwa rencana HPT akan tetap kami tolak, apapun taruhannya," jelas Weni.

Sejak diminta menjadi pemimpin gerakan penolakan HPT, Weni mengaku semakin sibuk melakukan pertemuan, rapat dengan masyarakat dan tokoh. Ia harus cerdik dan pandai mencari jalan keluar atas persoalan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com