Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Shalawat Rodad, Tradisi Unik Sambil Menunggu Waktu Berbuka Puasa

Kompas.com - 31/05/2018, 16:09 WIB
Markus Yuwono,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Puluhan masyarakat di Padukuhan Banjarharjo II, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, memiliki tradisi unik yakni melantunkan Sholawat Rodad.

Tradisi turun temurun ini juga digunakan untuk mengisi datangnya waktu berbuka puasa, karena saat beberapa kali latihan waktunya menjelang berbuka puasa. 

Sekitar pukul 17.00 WIB, mereka berkumpul di Alas literasi Banjarharjo. Dengan berpakaian atasan putih, dan bawah celana hitam, komplit mengenaakan peci, puluhan orang duduk bersimpuh berhadapan.

Tak ketinggalan, masing-masing memegang kipas. Sementara beberapa lainnya, yang usianya lebih tua duduk disamping dan menyiapkan rebana.

Shalawat Rodad merupakan lantunan shalawat sambil diiringi tabuhan rebana. Namun pelantun shalawat melantunkan shalawat sambil memainkan kipas dan menggerakkan tubuh, atau disebut leyek. Pelantunan shalawat ini baru selesai menjelang berbuka puasa.

"Kami biasanya latihan dua kali dalam selapan (34 hari dalam perhitungan Jawa) yakni Senin Kliwon dan Senin Pon,"kata Salah satu tokoh masyarakat dusun Banjarharjo II, Ahmadi di lokasi, Rabu (30/5/2018).

Baca juga: 14 Tahun Terbaring Tak Berdaya, Sunarsih Akhirnya Dibawa ke Rumah Sakit Diiringi Lantunan Shalawat

Untuk saat bulan Ramadan biasanya dilakukan selepas shalat Tarawih, atau menjelang berbuka puasa. "Tujuannya untuk mengajak anak muda mengurangi nongkrong tidak jelas, selain itu gerakan leyek efeknya bagus, karena gerakan itu bisa melencarkan peredaran darah,"ucapnya.

Menurut dia, dari cerita turun temurun dusun setempat, Sholawat Rodad ini berawal sekitar tahun 1953, saat itu lima orang tokoh agama setempat pulang dari mengaji di wilayah Pleret, Bantul.

Adapun lima orang itu, Ahmad Karsum, Mujahid, Dullah Sadik, Mustam, dan Abdul Rohman, beristirahat di tengah perjalanan. Di tengah hutan, mereka mendengar suara Sholawat Rodad, dan akhirnya mencari informasi dari mana asal muasal suara.

Lalu ditemukan di wilayah Giriloyo, Wukirsari, Imogiri. DI sana mereka berlima belajar mengenai tarian dan tabuhan Sholawat Rodad, selama 21 hari.

Baca juga: Warga NU Semarang Lantunkan 12 Juta Shalawat untuk Keselamatan Bangsa

Mereka kemudian mengajarkan kepada santri di Mushala dusun setempat. Awalnya santri yang dilatih ada 25 orang, dan 7 dalang, serta penabuh. Berkembang generasi kedua ada 50 orang penari, dan 7 dalang, serta penabuh. Lalu generasi ketiga ada tambahan 40 orang.

"Saat ini generasi ke empat, dan yang melakukan shalawat Rodat ada 54 orang ditambah tujuh orang penabuh dan dalang,"tuturnya.

Salah seorang pemuda yang ikut Sholawat Rodad, Nanang Kosim mengatakan, dirinya tertarik untuk mengikuti Sholawat Rodad karena ingin melestarikan tradisi yang sudah dilakukan beberapa generasi ini.

"Saya sebagai generasi muda ingin ikut melestarikan budaya yang ada disini," katanya. 


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com