Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ustaz Mustain Menangis Terharu Saat Pertama Kali Santrinya Lulus Sekolah Negeri

Kompas.com - 27/05/2018, 08:10 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Ustaz Mustain (46) dan dua santri putra mengupas sayur tewel di depan bangunan sederhana terbuat dari kayu yang disebut dengan guthekan.

Setelah tugasnya selesai, kedua santri tersebut izin kepada ustadnya ke dapur untuk meneruskan memasak menu buka puasa.

"Di sini, para santri masak sendiri secara bergantian. Masak sayur atau apapun yang ada. Sekarang mereka persiapan berbuka puasa," kata Mustain, Sabtu (26/5/2018).

Lalu, lelaki pengasuh pondok pesantren Nurul Anwar Arrabi tersebut mengajak melihat bangunan guthekan yang digunakan untuk para santri menginap.

Baca juga: Kisah Generasi Ketiga H Abdul Rozak, Bagi-bagi Uang Selama Ramadhan

Satu guthekan kecil berisi dua sampai tiga santri. Total ada lima guthekan yang ada di pondok pesantren sederhana yang ada di bawah kaki Gunung Ijen, tepatnya di Dusun Gadog, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

"Guthekan ini sebenarnya sudah kuno. Dulu kalo mondok ya tinggal di tempat kaya gini. Bukan asrama. Saya nggak kuat kalo harus buat asrama. Dananya enggak ada," katanya sambil tersenyum.

Saat ini, hanya ada 13 santri putra dan 5 santri putri yang tinggal di pondok pesantren yang telah didirikannya sejak tahun 2000 lalu.

Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, Ustaz Mustain juga mendirikan MTs Arrabi pada tahun 2011 lalu. Lokasi bangunan sekolah setingkat SMP tersebut berada di satu lingkungan Pondok Pesantren Nurul Anwar.

Hanya lulus SD

Ustaz Mustain bercerita, keputusannya untuk mendirikan MTs Arrabi berawal dari banyaknya anak-anak di sekitar pondok pesantrennya yang tidak melanjutkan sekolah ke SMP setelah lulus SD karena alasan biaya dan sekolah yang jauh dari rumah.

"Dulu lulus SD ya sudah selesai sekolah. Jarang ada yang melanjutkan sekolah. Alasannya jauh karena tidak ada kendaraan umum lewat dusun ini. Jalannya juga dulu rusak parah. Akhirnya dengan niat demi pendidikan anak-anak sini saya beranikan diri untuk buat Mts," katanya.

Bapak tiga anak tersebut mengaku, tidak ingin nasib anak-anak di desanya seperti dirinya yang hanya menyelesaikan sekolah formal sampai lulus SD.

Walaupun sempat mengenyam bangku SMP selama setahun, Mustain muda harus putus sekolah karena orang tuanya tidak bisa membiayai sekolahnya.

"Padahal saat itu saya sedang semangat-semangatnya bersekolah. Rasanya pupus harapan. Sedih luar biasa. Setengah tahun saya nganggur dan menangis kalau ada teman sekolah. Hingga akhirnya saya mondok pada tahun 1988 hingga 1999 lalu kembali ke sini mendirikan pesantren," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Saat pertama kali mendirikan MTs tahun 2011, muridnya hanya 15 orang dan yang berhasil lulus hanya lima orang. Yang lain berhenti karena bekerja dan menikah.

Bersambung ke halaman dua: Tangis haru saat santri pertama lulus sekolah negeri

 

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com