Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sehari Bersama Maestro Rapai Aceh

Kompas.com - 25/05/2018, 17:14 WIB
Masriadi ,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Bunyi desing mesin ketam merapikan kayu begitu memekakan telinga siang itu, Kamis (24/5/2018). Di belakang mesin, Sony, putra dari sang maestro pembuat rapai (alat musik tradisional Aceh) terlihat serius.

Matanya awas memperhatikan kehalusan kayu Merbo atau Tualang yang digunakan untuk membuat alat musik pukul itu. Di rumahnya, Desa Blang Weu, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, aktivitas itu berlangsung puluhan tahun.

“Saya sudah tua, jadi sebagian besar dikerjakan Sony sekarang ini,” kata Hasballah, memulai perbincangan. Mantan sopir truk lintas Sumatera itu memulai pembuatan rapai sekitar tahun 1990 silam.

Belasan tahun menjadi sopir truk membuatnya tak betah. Apalagi, semakin hari daya tahan tubuhnya kian berkurang. Karena itu pula, Hasballah memutuskan membuat rapai. Kerajinan yang langka itu kini hanya dikuasai oleh pria berusia 60 tahun itu.

“Belajar sendiri. Saya lihat model rapai asli, lalu saya coba buat. Awalnya jelek betul bentuknya. Belum lagi suaranya tak bagus,” kenangnya.

Baca juga: Setiap Ramadhan, Makanan Khas Aceh Ini Diserbu Pembeli

Alat musik pukul itu bukan hanya dibuat untuk seniman Aceh. Melalui mulut ke mulut, karya Hasballah diakui oleh dunia. Bahkan, seniman Qatar kerap memesan alat musik itu darinya.

“Kalau di Indonesia paling jauh itu ya Kalimantan pernah mesan di saya. Kalau luar negeri, Asia udah semuanya. Qatar paling jauh saya rasa yang memesan di sini,” terangnya.

Dia mengaku tak mudah mendapatkan kayu kualitas bagus akhir-akhir ini. Untuk mendapatkan kayu merbo kualitas bagus, dia terkadang memesan dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.

“Kalau kayu Merbo di daerah ini juga banyak. Namun terkadang muda, sehingga bunyinya tak bagus,” sebutnya.

Dia menjelaskan, alat musik mirip rebana itu harus berbunyi besar namun nyaring. Sedangkan rebana cenderung berbunyi kecil namun nyaring. “Rapai ini lebih spesifik lagi, ada disebut Rapai Pasee, Rapai Uroh dan Rapai Sanggar, itu semua bunyinya dan nyaringnya beda-beda,” ungkapnya.

Baca juga: Iseng Lempari 3 Bus dengan Batu, 3 Remaja di Aceh Timur Ditangkap Polisi

Untuk lapisan, Hasballah menggunakan kulit sapi yang telah dikeringkan dengan komposisi 20-25 centimeter. Sedangkan rapai uroh lebih kecil hanya 14-20 sentimeter.

“Kalau rapai sanggar itu umumnya remaja yang pakai. Kalau uroh dan Pase itu kan dimainkan orang tua,” jelasnya.

Lalu, bagaimana kondisi pesanan di bulan Ramadhan ini? “Alhamdulillah banyak terus,” kata Sony, sang putra menimpali.

Saat ini harga jual rapai berkisar Rp 1,2 juta hingga Rp 4,5 juta, tergantung ukuran. Keduanya mengaku, membuat rapai bukan semata soal mendatangkan rupiah. Namun, membuat rapai lebih pada kebanggan sebagai warga Aceh yang melestarikan seni tradisionalnya.

Ungkapan itu tampaknya benar, mengingat hanya Hasballah dan keluarganya yang berkiprah di bidang ini di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara. Kini, Hasballah terus menurunkan keahliannya pada sang putra. Agar seni membuat rapai terus terjaga hingga akhir perdaban manusia.

Kompas TV Modest wear juga bisa menjadi industri yang menyumbang perekonomian negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com