Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Dahu, Hutan Penelitian Meranti yang Penuh Berkah

Kompas.com - 25/05/2018, 16:06 WIB
Ramdhan Triyadi Bempah,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BOGOR, KOMPAS.com - Setidaknya, sejak lima tahun ke belakang, kawasan hutan di Gunung Dahu, Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, terus mengalami degradasi akibat pembalakan liar (illegal logging).

Masyarakat setempat menebangi pohon-pohon Meranti (shorea) untuk dijadikan bahan bangunan tempat tinggal mereka maupun kandang peternakan.

Penebangan ilegal yang masif itu menyebabkan lingkungan di kawasan Gunung Dahu menjadi rusak. Masyarakat di sana semakin sulit untuk mendapatkan sumber air, banyak pula sawah-sawah mengalami kekeringan.

Ironisnya, batang kayu pohon Meranti yang ditebangi itu adalah hasil proyek kerjasama rehabilitasi hutan antara Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Komatsu Ltd of Japan.

Program kerja sama tersebut telah berlangsung sejak tahun 1994, dengan proyek yang diberi nama Research on Rehabilitation of Degraded Forest and Land.

Peneliti Madya Puslitbang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Atok Subiakto, mengatakan, 170 hektar lahan di kawasan hutan penelitian Gunung Dahu, saat ini sudah ditumbuhi puluhan ribu pohon Meranti.

Baca juga: Berkah Pilgub Jatim bagi Ibu-ibu Pelipat Kertas Surat Suara

Atok menuturkan, saat itu, pihaknya berupaya untuk menyadarkan masyarakat atas tindakan mereka yang melanggar hukum itu.

"Faktanya, kira-kira lima tahun lalu, saya sengaja muterin hutan. Apa yang saya lihat? Ternyata, di sebelah sana ditebangin, karena nggak ada yang jaga. Setelah kita mengetahui hal itu, ketua RT di sana kita libatkan dan diangkat sebagai pengawas. Sekarang udah aman," ucap Atok, saat ditemui di kawasan hutan penelitian Meranti, Gunung Dahu, Bogor, Jawa Barat, Kamis (24/5/2018).

Atok menambahkan, upaya penyadaran dengan melibatkan masyarakat setempat secara langsung itu perlahan membuahkan hasil.

Masyarakat di sana mulai sadar bahwa keberadaan pohon-pohon Meranti punya pengaruh besar terhadap ketersediaan air di lingkungan tempat tinggal mereka.

"Kalau dulu air hanya ada saat musim hujan, sekarang kalau musim kemarau, air tetap ada. Masyarakat di sini kemudian memanfaatkan itu dengan membuka wisata curug. Akhirnya, memberikan manfaat ekonomi," ungkapnya.

Selain mampu menampung ketersediaan air, sambungnya, pohon Meranti juga mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi di pasaran kayu global.

Sebab itu, keberadaan Meranti di hutan alam dikhawatirkan terancam akan sulit ditemukan akibat pembalakan liar. Karena itu, regenerasi Meranti dengan budidaya dipandang perlu.

"Jenis-jenis kayu Meranti paling banyak digunakan untuk konstruksi bangunan di kota berbagai wilayah di Indonesia. Saat ini, 90 persen bangunan menggunakan kayu meranti. Sebab secara kualitas, pohon meranti berada di urutan nomor dua setelah kayu jati," jelasnya.

Baca juga: Berkah Pedagang Bunga Jelang Ramadhan, Omzet Naik 600 Persen

Ia mengklaim, riset yang dilakukannya bersama tim peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama puluhan tahun itu telah berhasil menemukan metode baru dalam penanaman pohon Meranti.

Halaman:



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com