Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tutik, Korban Bom Gereja Pantekosta Surabaya, Sosok Pekerja Keras yang Dermawan

Kompas.com - 16/05/2018, 08:03 WIB
Muhlis Al Alawi,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com — Bagi keluarga korban meninggal bom Gereja Pantekosta Surabaya, Sri Pudjiastuti yang biasa disapa Tutik merupakan sosok yang tangguh.

Sebagai seorang perempuan yang tangguh, Tutik sudah biasa bekerja keras. Menjadi seorang sopir bus malam hingga sopir taksi sudah pernah dilakoninya.

"Almarhumah itu mantan sopir bus malam dan taksi di Surabaya. Jadi kalau di terminal itu sudah kayak cowok begitu," ujar Tri Nuryani (57), kerabat korban kepada wartawan di sela pemakaman Sri Pudjiastuti di Tempat Pemakaman Umum Bonoloyo, Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (15/5/2018) siang.

Sebelum merantau di Surabaya, kata Tri, Tutik sempat tinggal bersama keluarga ibu kandungnya. Namun tak berapa lama kemudian, Tutik yang pernah menikah itu memilih hidup mandiri mencari rejeki di kota pahlawan.

Baca juga: Satu Korban Bom Gereja Pantekosta Surabaya Dimakamkan di Solo

Meski tak memiliki pekerjaan tetap, Tutik tak lupa diri bila mendapatkan rejeki banyak. Setelah terkumpul uang hasil kerja kerasnya, Tutik memilih pulang ke Solo untuk menemui saudara dan keponakannya.

"Kalau ada rejeki banyak, almarhum ingin segera pulang ke Solo untuk memberikan uang kepada saudara-saudaranya yang tidak mampu di Solo. Jadi orangnya itu pemurah dan dermawan," ungkap Tri.

Rekan dan keluarga mengusung peti mati berisi jenazah almarhumah Sri Pudjiastuti untuk dikebumikan di TPU Bonoloyo, Kadipiro, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa ( 15 / 5 / 2018) siang. KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi Rekan dan keluarga mengusung peti mati berisi jenazah almarhumah Sri Pudjiastuti untuk dikebumikan di TPU Bonoloyo, Kadipiro, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa ( 15 / 5 / 2018) siang.

 

Tinggalkan Pesan

Kedekatan Tutik dengan keluarga di Solo menjadikan almarhumah selalu ingin balik ke kota kelahiran Presiden Jokowi bila terjadi apa-apa pada dirinya. Bahkan sebelum peristiwa nahas menimpa Tutik, ia sering menelepon keluarga di Solo dan meninggalkan satu pesan khusus.

"Sebelum meninggal, almarhumah sering menelpon di keluarga Solo. Tutik selalu berpesan kalau terjadi apa-apa minta dibawa ke Solo," jelas Tri.

Tak hanya itu, Tutik juga berpesan kalau meninggal ingin didandani yang cantik. Menurut rekan satu gerejanya, Tutik didandani cantik dan mengenakan kebaya.

Meski hidup mandiri, lanjut Tri, Tutik jarang mengeluh sakit. Tubuh Tutik yang kuat dan segar hingga banyak membuat orang salah sangka tentang umurnya.

Baca juga: Risma: Bapak Kamu Itu Pahlawan, Nak...

"Umurnya hampir 70 tahun tapi tidak terlihat seperti perempuan berumur seperti itu. Energik sekali dia," jelas Tri.

Tri menambahkan saat muda, rupanya Tutik, adik kandung ibunya itu menjadi atlet sepeda di Kota Solo. Ia masih mengingat saat Tutik berlatih melaju mengayu sepeda di Stadion Sriwedari Solo. 

Kabar meninggalnya Tutik, diterima keluarga usai pulang menghadiri pesta pernikahan. Setiba di rumah, Tri mendapati pesan di handphone-nya yang mengabarkan Tutik menjadi korban bom di Surabaya.

Mendapatkan kabar buruk itu, Tri langsung menuju Surabaya. Nahas, setibanya di Mojokerto, Tri mendapatkan informasi, Tutik sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Angkatan Laut Surabaya.

Kompas TV Kurnianto, anak dari korban bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, Surabaya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com